Rabu, 01 Januari 2014

Hadiah Tahun Baru


Ah, tahun baru ya? Bagiku sama saja. Sama seperti beberapa tahun sebelumnya, aku merasa tidak ada yang berubah. Masih saja merasakan sakit dan kehilangan.
Aku membuka tirai jendela dan terpampang didepanku kembang api yang meriah meletus-letus di langit sana. Suara terompet mendengung keras ditelingaku. Aku benci hingar-bingar. Sungguh, aku membenci saat semua orang berpesta merayakan hari baru yang ‘katanya’ akan memberi perubahan untuk mereka.
Aku melihat jam digitalku. Sudah lima menit berlalu setelah tahun berganti. Ku tutup kembali tirai itu rapat-rapat. Aku membuka laptop, kupasangkan modem, lalu menjelajahi jendela internet. Timeline twitter yang terlihat didepanku begitu ramai tentang topik tahun baru. Mereka semua membicarakan resolusi tahun baru.
Hah! Resolusi? Tidak, aku tidak punya. Yang aku inginkan saat ini hanya mengetahui keberadaan Tian. Azy Tiansetya. Seseorang yang dari dulu aku cinta secara diam-diam. Tian yang selalu aku perhatikan tingkahnya tanpa ia ketahui. Tiga tahun melihat senyum dan tawanya dari jauh tanpa sedikit pun aku pernah menjadi alasan dia bahagia.
Setiap tahun aku selalu mengharapkan hal itu terjadi. Pikiran yang mengkhayalkan akan pertemuan yang akan terjadi antara aku dengan dirinya. Merasakan kedekatan yang terlibat antara kami. Dan nyatanya, setiap tahun baru aku minta tapi tidak terkabul.
Aku mengharapkan hal itu bisa benar-benar terjadi, karena aku sudah jengah merindukannya. Kini sudah memasuki tahun ke tiga semenjak kelulusan sekolah. Artinya selama itu pula aku tidak pernah lagi bertemu dengan Tian dan sama sekali tak tahu kabar apa pun tentangnya.
Maka dari itu, aku ingin bisa mengetahui kabarnya sedikit saja. Entah bagaimana caranya, Tuhan mungkin akan melakukan itu. Jika doaku terkabul... Aku berjanji kalau aku tidak akan mengingat tentangnya lagi. Aku akan belajar melupakannya.
Aku meninggalkan laptop di meja. Merangkak ke kasur lalu tenggelam didalamnya. Lelah, rasanya lelah sekali. Setahun kebelakang banyak penyakit yang menusukku. Aku benci. Akankah tahun ini berjalan sesempurna yang aku bayangkan?
Dua-tiga jam berlalu. Aku terbangun karena suara berisik teman kos sebelahku yang masih merayakan tahun baru ini. Aku memperhatikan jam, sudah jam setengah empat pagi.
“Apa mereka tidak lelah berpesta semalaman?” gerutuku.
Aku berjalan ke kamar mandi bermaksud ingin mencuci muka tapi aku malah menghampiri laptop yang lupa aku matikan tadi. Timeline twitterku sudah mulai sepi. Tiba-tiba tanpa sadar aku mengetikkan nama lengkap Tian di tempat pencarian akun.
Tahukah betapa kagetnya aku saat aku ketahui ternyata Tian mempunyai akun twitter. Bibirku tertarik. Benar-benar senyum yang sama sekali tak pernah aku lakukan. Aku merasa gila saat aku sadari aku tertawa dan berteriak kencang. Tanpa ini-itu, aku langsung membuka akun profilnya.
Betapa tak aku bayangkan, disitu tertera sebuah nama. Aku memang tak mengenalnya. Tapi itu pasti pacarnya. Dan foto-foto mereka yang sedang tertawa bahagia mengikis rasa rindu ini menjadi benci. Betapa bodohnya aku karena terlalu mengharapkan Tian untuk ikut merindukanku juga. Sakit sesakitnya. Apa mereka tahu rasa sakit itu rasanya seperti yang aku rasakan?
Perih. Tidak ada kata yang lain lagi untuk mendeskripsikannya. Pelupukku meleleh dan melongsorkan bulir-bulir bening yang orang-orang sebut air mata. Apakah ini kebetulan atau takdir? Baru saja mengharapkan sesuatu lalu sekilat mata terkabul. Idiotnya aku, kenapa aku meminta harapan yang menyakiti diriku sendiri?

Aku benci. Benci pada kenyataan yang mengharuskan aku untuk melaksanakan janji yang sudah aku ciptakan sendiri. Anjing! Aku benci semua ini. AKU BENCI HARUS MENEPATI JANJI. AKU BENCI HARUS BENAR-BENAR MULAI BELAJAR MELUPAKAN MANUSIA YANG SUDAH SUSAH PAYAH AKU CINTAI DARI DULU.