Ah, tahun baru ya? Bagiku sama
saja. Sama seperti beberapa tahun sebelumnya, aku merasa tidak ada yang
berubah. Masih saja merasakan sakit dan kehilangan.
Aku membuka tirai jendela dan
terpampang didepanku kembang api yang meriah meletus-letus di langit sana. Suara
terompet mendengung keras ditelingaku. Aku benci hingar-bingar. Sungguh, aku
membenci saat semua orang berpesta merayakan hari baru yang ‘katanya’ akan
memberi perubahan untuk mereka.
Aku melihat jam digitalku. Sudah lima
menit berlalu setelah tahun berganti. Ku tutup kembali tirai itu rapat-rapat. Aku
membuka laptop, kupasangkan modem, lalu menjelajahi jendela internet. Timeline twitter
yang terlihat didepanku begitu ramai tentang topik tahun baru. Mereka semua
membicarakan resolusi tahun baru.
Hah! Resolusi? Tidak, aku tidak
punya. Yang aku inginkan saat ini hanya mengetahui keberadaan Tian. Azy Tiansetya.
Seseorang yang dari dulu aku cinta secara diam-diam. Tian yang selalu aku
perhatikan tingkahnya tanpa ia ketahui. Tiga tahun melihat senyum dan tawanya
dari jauh tanpa sedikit pun aku pernah menjadi alasan dia bahagia.
Setiap tahun aku selalu
mengharapkan hal itu terjadi. Pikiran yang mengkhayalkan akan pertemuan yang
akan terjadi antara aku dengan dirinya. Merasakan kedekatan yang terlibat antara
kami. Dan nyatanya, setiap tahun baru aku minta tapi tidak terkabul.
Aku mengharapkan hal itu bisa
benar-benar terjadi, karena aku sudah jengah merindukannya. Kini sudah memasuki
tahun ke tiga semenjak kelulusan sekolah. Artinya selama itu pula aku tidak
pernah lagi bertemu dengan Tian dan sama sekali tak tahu kabar apa pun
tentangnya.
Maka dari itu, aku ingin bisa
mengetahui kabarnya sedikit saja. Entah bagaimana caranya, Tuhan mungkin akan
melakukan itu. Jika doaku terkabul... Aku berjanji kalau aku tidak akan
mengingat tentangnya lagi. Aku akan belajar melupakannya.
Aku meninggalkan laptop di meja. Merangkak
ke kasur lalu tenggelam didalamnya. Lelah, rasanya lelah sekali. Setahun kebelakang
banyak penyakit yang menusukku. Aku benci. Akankah tahun ini berjalan
sesempurna yang aku bayangkan?
Dua-tiga jam berlalu. Aku terbangun
karena suara berisik teman kos sebelahku yang masih merayakan tahun baru ini. Aku
memperhatikan jam, sudah jam setengah empat pagi.
“Apa mereka tidak lelah berpesta
semalaman?” gerutuku.
Aku berjalan ke kamar mandi
bermaksud ingin mencuci muka tapi aku malah menghampiri laptop yang lupa aku
matikan tadi. Timeline twitterku sudah mulai sepi. Tiba-tiba tanpa sadar aku
mengetikkan nama lengkap Tian di tempat pencarian akun.
Tahukah betapa kagetnya aku saat
aku ketahui ternyata Tian mempunyai akun twitter. Bibirku tertarik. Benar-benar
senyum yang sama sekali tak pernah aku lakukan. Aku merasa gila saat aku sadari
aku tertawa dan berteriak kencang. Tanpa ini-itu, aku langsung membuka akun
profilnya.
Betapa tak aku bayangkan, disitu
tertera sebuah nama. Aku memang tak mengenalnya. Tapi itu pasti pacarnya. Dan foto-foto
mereka yang sedang tertawa bahagia mengikis rasa rindu ini menjadi benci. Betapa
bodohnya aku karena terlalu mengharapkan Tian untuk ikut merindukanku juga.
Sakit sesakitnya. Apa mereka tahu rasa sakit itu rasanya seperti yang aku
rasakan?
Perih. Tidak ada kata yang lain
lagi untuk mendeskripsikannya. Pelupukku meleleh dan melongsorkan bulir-bulir
bening yang orang-orang sebut air mata. Apakah ini kebetulan atau takdir? Baru saja
mengharapkan sesuatu lalu sekilat mata terkabul. Idiotnya aku, kenapa aku
meminta harapan yang menyakiti diriku sendiri?
Aku benci. Benci pada kenyataan
yang mengharuskan aku untuk melaksanakan janji yang sudah aku ciptakan sendiri.
Anjing! Aku benci semua ini. AKU BENCI HARUS MENEPATI JANJI. AKU BENCI HARUS BENAR-BENAR
MULAI BELAJAR MELUPAKAN MANUSIA YANG SUDAH SUSAH PAYAH AKU CINTAI DARI DULU.