Aku
memeluk sebuah novel yang cukup tebal, erat-erat. Semakin lama antrian itu
semakin panjang, tapi aku bukan salah satu orang yang sedang mengantre. Aku terlalu
takut untuk bertatap muka dengan si penulis idolaku, Yoga. Telapak tanganku
mulai berkeringat. Kegugupanku sudah mencapai stadium tiga.
Melihat
wajah Yoga yang tak banyak berubah, aku jadi teringat dengan beberapa tahun ke belakang
dimana aku dan dia masih berada di bangku sekolah. Saat itu kami satu kelas
selama dua tahun namun kami tak sedikit pun mengenal satu sama lain. Kami tak
pernah saling ucap, saling sapa, bahkan saling berbicara. Waktu itu, aku hanyalah
gadis pendiam yang tak memiliki banyak teman. Orang-orang bilang aku terlalu
fokus belajar, hidupku terlalu lempeng untuk bisa dinikmati, tapi mereka tahu
apa? Mereka hanya bisa menebak usil.
Ya
seperti cerita cinta anak SMA lainnya, aku jatuh cinta pada yoga, si bintang
kelas. Mirisnya, aku sama sekali tak bisa mendekatinya sama seperti teman
perempuan sekelasku yang lain. Aku sama sekali tak mengharapkannya untuk jadi
milikku, tapi aku hanya ingin berteman dekat, itu saja sudah cukup.
Mengingat
masa sekolah dulu, memoriku pun kembali saat aku begitu rajin menuangkan beribu
kesahku ke dalam puisi yang terpajang di majalah dinding sekolah. Setiap kali
puisiku di pajang, selalu saja direndengkan dengan sebuah puisi yang sama
sekali tak memiliki sebuah nama pemilik. Puisi misterius itu seperti sebuah
jawaban dari kegelisahan puisiku. Selalu seperti itu. Aku tak tahu harus
bertanya pada siapa. Hingga aku menempelkan sebuah note dan stiker di atas puisi misterius itu. Note dan stiker itu menghilang tapi aku tetap tak mendapat respon
dari orang itu. Bahkan hingga sekarang pun aku belum mengetahuinya dan rasa
penasaran itu tidak pernah hilang.
“Bintang!”
Aku tersadar dari lamunanku ketika seseorang memanggil namaku.
“Kenapa
belum mengantre? Kamu mau menunggu sampai kapan lagi?”
“Tapi
aku takut, Pril,”
“Ayo!
Ngapain harus takut? Nggak bosan bertahun-tahun mengagumi dari jauh aja?”
April
menarik lenganku secara paksa hingga kami berada dalam barisan. Wajah khawatirku
membuat April tersenyum puas. Hingga giliranku tiba, aku hanya bisa terpaku
dengan novel yang masih berada dalam pelukan. April merampas novelku dan
memberikannya pada Yoga.
Penulis
itu memandangku. “Atas nama siapa?”
“Bi-Bintang,”
kataku gagap.
Aku
melihat sang penulis merogoh saku jaketnya dan mengeluarkan sesuatu yang lolos
dari pandanganku. Aku penasaran dengan apa yang diselipkan Yoga ke dalam
novelku. Tapi penasaran itu aku coba tahan.
“Terimakasih,
ya, Bintang,” katanya.
Aku
tersenyum canggung dan berlalu. Sesegera mungkin kami menjauh dari pandangan
Yoga dan melihat apa yang tadi diselipkannya di dalam novel.
“Ng….”
Aku membisu, tak mampu mengucapkan sepatah kata pun ketika melihat sebuah note dan stiker yang dulu aku berikan
pada penulis misterius itu, malah kembali lagi padaku. Masih ada lagi! Ada sebuah
tulisan di halaman pertama novel itu,
‘Hai, aku merindukanmu. Satu-satunya penggemar beratmu.’ Dibawah tulisan
itu tertambat tanda tangan Yoga.