Senin, 03 November 2014

Duka Dibalik Hujan (2)



“Vera, kamu kenapa?” tanya Raka kecil.
Pertanyaan Raka tak digubris oleh Vera. Ia tetap menangis dengan kakinya yang terlipat dipeluk erat dan membenamkan kepalanya diantara kaki dan tubuhnya.
“Ver!!!!” teriak Raka sembari mendorong-dorong tubuh gadis kecil itu.
Vera merasa terganggu. Ia mendongakkan kepalanya dan menyeka air mata yang membanjiri wajahnya. Kini ia terlihat kumal karena tanah yang ia genggam menyatu dengan air matanya.
“Raka jahat!” ketus Vera.
“Kenapa Vera bilang aku jahat?” tanya Raka.
“Kamu, kan, tahu kalau aku nggak punya teman selain kamu. Tapi kamu kok malah main sama yang lain sih? Kamu ngebiarin aku sendiri,”
Raka ketawa kencang kemudian mengacak-acak rambut Vera. Ia senang sekali jika gadis kecil itu mencemburuinya. Melihat wajah Vera yang belepotan, Raka membuka bajunya lalu dilapnya wajah Vera hingga bersih.
“Raka,” panggil Vera dengan suara cemprengnya yang khas.
“Apa?”
“Itu hidung kamu berdarah,”
Vera menunjuk aliran darah yang mengalir di hidung Raka. Vera menyeret Raka untuk pulang ke rumahnya.
Sementara Vera menarik lengan kanannya, lengannya yang lain menutup hidung dengan baju yang tak sempat digunakannya kembali.
“Tante!!!!” teriak Vera hingga membuat seorang wanita paruh baya keluar dari rumahnya dengan tampang khawatir.
“Ada apa, Vera?”
Tanpa menjawab pertanyaan mama Raka, gadis itu mendorong pelan tubuh Raka untuk diperiksa oleh mamanya.
“Raka, kamu main panas-panasan lagi, ya?”
“Iya tuh, tante. Dia main bola lama banget. Aku ditinggal sendirian,” keluh Vera dengan wajah memberengut.
“Dasar Raka nakal! Nanti tante hukum tapi Rakanya istirahat dulu ya,” kata mama.
Vera mengangguk. Ia melihat Raka lari ke dalam rumah namun beberapa waktu kemudian ia keluar rumah dengan menenteng kamera digital dengan ditemani senyum sumringahnya.
“Raka kenapa keluar lagi? Mau main lagi?” tanya Vera dengan kepalan tangan yang menggantung didepan wajah Raka.
“Mah, foto kita dulu dong mah. Mumpung lagi sama-sama belepotan,” pinta Raka.
Mama menggeleng-gelengkan kepalanya. Beliau meraih kamera yang diulurkan lalu mencetak satu gambar dengan kamera tersebut. Foto yang dihasilkan menunjukkan kebahagiaan dua anak kecil. Yang satu dipenuhi lumpur diwajahnya, sedangkan anak laki-laki yang berada di foto itu belepotan dengan darah.
***
Tangis Vera kembali mengalir ketika ia memutar ulang memori indah dirinya dengan Raka. Ia berusaha sekuat tenaga menahan suara tangisannya. Ia takut tante Malika mengkhawatirkannya.
Bingkai foto yang menunjukkan gambar dua anak kecil lugu yang begitu belepotan tak bosan-bosan ditatap olehnya selama beberapa jam. Vera duduk diatas kasur yang luasnya hanya mampu menampung satu tubuh orang dewasa. Ia mencoba tenang dan mengatur napasnya.
Diluar sana, hujan turun sangat kencang. Ia rindu ketika bermain hujan bersama Raka. Setelah kepergian Raka beberapa bulan lalu, hujan seakan tak mau berhenti. Guyuran air itu seperti ingin selalu menemani kesedihan Vera.
“Ver…” panggil seseorang dari balik pintu.
“Iya, tan?”
Seorang wanita dengan umur sekitar lima puluh tahun datang menghampiri Vera kemudian duduk diatas kasur kecil milik Raka.
“Kamu masih sedih, ya, Ver?” tanya tante Malika, beliau membelai puncak kepala Vera.
Vera menyenderkan kepalanya dibahu tante Malika. “Vera sudah nggak sedih tante. Vera cuma lagi kangen banget sama Raka,”
Bola mata wanita tua itu mengelilingi kamar Raka. Ia menghirup udara sebanyak-banyaknya hingga memenuhi paru-parunya, wangi tubuh Raka masih tercium.
“Kamu tahu nggak Raka pernah bilang apa ke tante?”
“Gak tahu. Memangnya apa, tante?”
“Raka itu gak suka kalau dikangenin. Dia bilang kalau tante kangenin dia berarti tante nggak anggap dia ada disamping tante,”
“Gimana, sih, tan? Vera nggak paham,”
“Kamu merasa Raka ada disamping kamu gak?”
Vera mengangguk.
“Kamu merasa Raka selalu bersama kamu gak?”
Vera kembali mengangguk.
“Terus kenapa kamu kangenin Raka? Kan dia lagi bersama kamu sekarang,”
Vera mengerti maksud tante Malika. Air matanya mulai berhenti. Lama-lama ia tenggelam dalam kebahagiaan semunya. Vera tidak menyadari bahwa dirinya telah tertidur pulas dipangkuan tante Malika.

Jumat, 19 September 2014

Tak Ingin Memiliki Cerita (2-END)



Sesaat kemudian, tangannya yang kokoh itu sudah melingkari tubuhku. Kini aku sedang berada dalam pelukannya. Aku tak bisa mengelaknya. Justru yang aku inginkan dari dulu memang seperti ini. Berada dipelukannya dan menangis sebanyak-banyaknya.
“Aku minta maaf buat hal-hal buruk yang menyakiti hati kamu. Mulai sekarang, aku nggak mau nyakitin kamu kayak gitu lagi. You’re mine, right now,” ungkap Aldi.
Aku tak menyangka ia akan berbicara seperti itu. Degub jantungku berpacu dua kali lipat dari biasanya. Aku mendongakkan kepalaku, seakan tak percaya dengan apa yang diucapkannya barusan.
“Aku nggak bercanda,” katanya memperjelas keadaan.
***
Aku tiba didepan rumahku setelah Aldi mengantarku pulang. Pandanganku teralih pada sebuah motor yang bertengger dirumah sebelah. Ternyata Regi sudah pulang dari tadi, pantas saja di cari disekolah ia tidak ada. Regi meninggalkanku berdua dengan Aldi disekolah. Betapa jahatnya dia.
Aku hanya menyimpan tasku di ruang tamu. Tanpa mengganti pakaian, aku pergi menuju rumah Regi. Seperti biasanya, aku sudah terbiasa masuk ke kamarnya meski tanpa minta izin pada mama Regi. Dimata mamanya, aku seperti anak perempuannya.
“Gi, kamu tega ninggalin aku gitu aja. Jahat,” kataku.
Regi mendongakkan kepalanya. “Bukannya kamu pulang bareng Aldi?”
“Iya, sih. Eh, tahu nggak? Aku udah jadian dong sama Aldi,” kataku sambil menyentuh rak buku Regi.
“Hahaha, iya udah tahu. Udah ketebak,” cetusnya lemas.
“Kamu kok kayak yang nggak semangat gitu? Nggak seneng ya, temen kamu udah jadian sama orang yang dicintainya, lho?”
“Aku seneng kok. Congratulation, ya, Fira,”
“Gitu dong,” kataku sambil berkacak pinggang.
“Tapi kalau aku suka sama kamu gimana, Ra?”
Deg! Aku kaget mendengar ucapan Regi.
“Kamu bercanda, kan?” tanyaku meminta kepastian.
Emosiku berubah seketika. Aku terdiam dan menatapnya beberapa waktu.
“Aku serius, Ra. Kalau aku suka sama kamu gimana, Ra?” Regi mengulangi pertanyaannya.
***
Aku menghindari Regi seharian ini. Disekolah aku sama sekali tak bercakap dengannya. Sebenarnya aku ingin menganggap bahwa tak terjadi apa-apa antara kami. Namun kecanggunganku membuat keadaan memburuk.
Kini aku menyesal ketika seseorang memberitahuku bahwa Regi mengalami kecelakaan sementara aku sedang senang-senang bersama Aldi. Ketika mendapat kabar buruk itu, aku bergegas menyuruh Aldi untuk mengantarku ke rumah sakit yang menangani Regi.
“Regi….,” Aku meraung-raung sepanjang perjalanan. Aldi dengan semaksimal mungkin menjalankan motornya tanpa menenangkanku sedikitpun. Aku melihat kekhawatiran diwajahnya.
Aku setengah berlari ketika melihat di ujung koridor berada kedua orang tua berjalan mondar-mandir di depan UGD. Aldi mengikutiku dari belakang.
“Gimana keadaan Regi, tante-om?” tanyaku.
Mereka hanya menggeleng-gelengkan kepala. Kakiku yang lemas membuatku tak mampu berdiri lagi hingga membuatku tersungkur ke lantai. Air mataku meleleh meski aku tak mengeluarkan suara rengekan.
Aldi menghampiriku kemudian membuatku berada dalam pelukannya. “Ayo makan dulu. Nanti kamu sakit,”
Aku melepas pelukannya lalu menatap lekat-lekat sepasang bola matanya. “Aku nggak mungkin bisa makan sementara Regi lagi bertaruh nyawa didalam sana,”
Aku melirik kedua orangtua Regi yang meminta izin padaku untuk pergi sebentar.
“Udah, Ra. Regi bakal baik-baik aja. Percaya sama keajaiban,” ucap Aldi menenangkan.
Aku menepis sentuhan tangannya di puncak kepalaku. “Ini semua karena aku. Karena hubungan kita. Kalau kita enggak jadian, pasti keadaannya gak akan kayak gini. Ini salah aku karena aku ngejauhin dia,”
“Kamu enggak salah, Fira. Semua ini udah diatur sama Tuhan. Jadi jangan nyalahin diri kamu sendiri,” bela Aldi.
“Regi suka sama aku. Kita enggak seharusnya jadian,”
“Jadi mau kamu kita putus?” tanya Aldi meminta penjelasan. Tapi aku tak menghiraukannya sedikitpun. Kebisuanku seolah menjawab pertanyaannya, ia berlalu meninggalkanku. Air mataku semakin deras.
***
Regi pergi ke tempat yang seharusnya ia berada. Tanpa rasa sakit, tanpa penderitaan. Aku sama sekali tak mengeluarkan air mata sepanjang perarakan pemakaman Regi. Hanya saja hatiku terasa acak-acakan, kenapa bisa secepat itu? Semudah itukah semua itu berlalu? Hidup ini terlalu lucu untuk aku tertawai.
Orang-orang satu per satu menaburkan bunga serta turut berbela sungkawa pada kedua orangtua Regi, sementara aku pergi ke tempat yang jauh dari keramaian orang-orang. Berharap aku mampu menenangkan diriku sendiri.
Tiba-tiba seseorang menyentuh pundakku dari belakang. “Jangan pernah menyesal sama keadaan yang sudah terjadi, Ra. Paling nggak kamu ada disamping dia, saat dia pergi. Aku yakin dia nggak akan menyesal udah pernah jatuh cinta sama kamu.”
Seperti ada ombak yang sedang berdesir dihatiku ketika aku melihat wajahnya. Sungguh aneh memang, Aldi selalu tahu dimana pun aku berada meskipun di sebuah tempat yang tersembunyi sekalipun. Aku melompat kedalam pelukannya dan menangis sekencang yang aku bisa.
“Maaf…” kataku padanya.

Lawan Kata Pertemuan



Hatiku teriris ketika melihat tawa mereka yang membuncah. Akhir-akhir ini aku tak mampu tertawa selepas itu, mengingat bahwa sebentar lagi kami akan terpisah satu per satu karena kelulusan sekolah.
“Kamu kenapa sih, Ra?” tanya salahsatu temanku yang menyadari perubahan sifatku.
“Nggak apa-apa,” jawabku sedikit cengengesan.
“Tapi kok melamun terus,”
“Enggak kok,” Aku menggeleng kepalaku.
Senja mendominasi cakrawala ketika kami berlima berkumpul membentuk lingkaran didepan kelas. Belakangan ini kami menjadi lebih sering pulang sore hanya sekadar untuk bercerita satu sama lain. Karena kami sadar sebentar lagi kami takkan mampu bercanda bersama seperti ini lagi.
Dita, Reza, Andre, Lala, dan aku, tak pernah habis bahan pembicaraan. Kami selalu saja memiliki cerita-cerita lucu yang seringkali mengocok perutku. Tapi untuk hari ini, wajahku tak mampu berseri karena selalu terbayang dengan perpisahan yang akan datang dalam waktu dekat ini. Tiba-tiba air mataku menitik. Kekhawatiran ke empat sahabatku terpancar ketika mereka melihat tangisanku.
“Ra, kamu kenapa?” tanya Lala.
Aku tak mampu menjawabnya karena tenggorokanku serasa kaku. Aku menangkupkan kepalaku ke dalam kedua telapak tanganku. Andre dengan sekejap mata sudah berada disampingku kemudian merangkulkan lengan kirinya ke pundakku.
“Kayra?” tanya Andre.
“Kayra nangis? Ah bukan gaya Kayra banget,” sela Dita.
Semua terdiam sejenak, menungguku untuk membuka suara.
“Kita bentar lagi pisah,” kataku sesenggukan.
Aku mendengar Reza menertawaiku. “Perpisahan SMA bukan akhir dari segalanya kali,”
“Bukan itu maksudnya,”
“Gini, lho, Ra. Sebenarnya farewell nanti cuma formalitas aja. Habis lulus kita nggak akan pisah, kita tetep bareng-bareng, kok. Ya kan?” Andre meminta respon teman-teman yang lain.
“Iya benar, kita harus sukses bareng-bareng!” seru Dita.
Aku mendongakkan kepala. “Janji?” tanyaku sambil mengacungkan kelingking.
“Janji!!!” teriak mereka bersamaan.

Sabtu, 26 Juli 2014

Kalut Pemberian Lika



Aku menarik napas panjang saat membaca pesan dari Vero yang mengungkapkan perasaannya padaku. Ia bukanlah wanita pertama yang berani meminta aku untuk jadi pasangannya. Namun kali ini berebda ketika sahabatku sendiri yang meminta hal itu. ***

Hari ini Vero sudah sah menjadi kekasihku. Sebagai kewajiban, aku menjemputnya ke rumah dan pergi ke sekolah bersama. Merasa ada pemandangan baru, orang-orang langsung menyerbu tanya padaku. Aku melihat gelagat bahagia dalam diri Vero ketika menjawab pertanyaan teman-temannya. Tapi, entahlah, aku merasa janggal berada dalam ikatan ini dengan Vero.

“Cie, lo baru jadian? Pajaknya kali, Di,” kata seorang gadis menghampiriku begitu aku duduk dikursiku. Aku menghela napas.

Andai aja yang jadian itu kita. “Pajak apaan, sih?” kataku lalu melengos pergi meninggalkannya.

“Kok, malah bete? Cerita dong gimana kalian jadian?” ucap Lika sambil memeluk pundakku ketika sudah menyamai langkahnya denganku.

Aku duduk dikursi panjang tepat didepan kelas, Lika pun ikut melakukan ha yang sama. “Dia nembak gue, ya, gue terima,”

“Tapi lo  ada perasaan kan sama dia?”

Aku menggelengkan kepalaku. Sudah lama aku memendam perasaanku pada Lika. Semuanya tumbuh ketika kedekatan kami semakin erat.

“Hebat, ya, cewek berani nembak cowo. Gue juga mau nyatain perasaan gue deh,” ungkap Lika.

“Ngungkapin perasaan lo? Ke siapa?” tanyaku bingung.

“Ada deh! Emansipasi baru dimulai namanya,”

Aku memalingkan tubuh ke arah lain dengan wajah tertekuk. “Padahal gue sukanya sama lo,”

Kening Lika berkerut. Karena tak begitu jelas mendengar ucapanku, ia mengguncang-guncang tubuhku meminta agar aku mengulangi perkataanku yang barusan. “Apa? Adi, tadi lo ngomong apa?”

“Gue suka sama lo,” celetukku.

Lika tertawa terbahak. “Tapi lo, kan, udah punya pacar. Gue juga mau punya pacar juga kali,”

“Lo nggak boleh pacaran sama orang lain, selain gue,”

“Jadi ceritanya gue harus nungguin lo?”

Melihat aku yang diam seribu bahasa, ia melanjutkan ucapannya. “Tadi, sih, gue niatnya mau nembak cowo yang namanya Adi, eh, dianya malah ngungkapin duluan pakai acara posesif segala lagi hahaha,” ***

“Lo jangan nunjukkin ke orang kalau lo suka sama gue. Lo, kan, lagi pacaran sama Vera! Gue jadi kelihatan murah di depan orang lain,” ketus Lika.

Kedua alisku bertautan. “Gue minta maaf. Gue pikir dengan cara kayak gitu, aku sama Vera bisa putus”

“Rencana lo jahat banget, Di. Udah deh jalanin aja sampai dia mutusin hubungan kalian dengan sendirinya. Jangan sakitin dia, nanti kamu malah dapat balasannya. Lagipula, aku enggak terobsesi untuk jadi pacar kamu,”

Ponselku bergetar dan segera aku cari tahu penyebabnya. “Lik, gue jenguk Vera dulu. Katanya dia sakit,”

Ia hanya mengangguk sebagai jawaban. Tanpa ini-itu, aku bergegas pergi ke rumah Vera.
Di tempat itu, Vera bergelayut manja dilenganku. Meski merasa risih, aku tak tega melepaskannya. Aku melihat jam yang melingkar ditanganku. Tepat jam enam sore ketika kudapati layar ponselku menunjukkan nama Lika sedan menghubungiku.

“Halo,” jawabku. Manusia di ujung telepon sana tak menggubris ucapanku. Yang terdengar hanyalah suara gesekan benda dan ingar-bingar orang asing. Tut... Tut... Panggilannya di putus. Tapi tak lama, ponselnya kembali berdering dengan penelepon yang sama. Lika.

“Halo, mas? Temannya kecelakaan disini. Tolong cepat kesini,”

Ponselku terjatuh saat mendengar berita tersebut. Aku baru saja beranjak ketika Vera menahan kepergianku. “Jangan pergi,”

“Tapi teman gue kecelakaan!”

Wajah Vera memelas. “Aku ikut,” ***

Aku mondar-mandir didepan ruang UGD. Sambil meremas-remas tangan, pikiranku berseliweran tentang hal yang buruk.

“Adi, aku lapar. Makan, yuk!”

“Aku ngantuk. Pulang aja, yuk”

Vera bersungut-sungut di kursi rumah sakit. Aku jengah mendengarnya. “Kalau mau pulang, sana pergi sendiri! Kenapa tadi ikut-ikutan kesini?” bentakku.

“Adi, kenapa kamu berbeda? Jahat banget, tau nggak!”

“Gue mau putus dari lo,” ucapku sekenanya.

“Kenapa tiba-tiba? Nggak ada angin, nggak ada apa-apa,”

“Kalau bukan karena teman gue, udah dari dulu gue mutusin lo,”

Sejenak ia menatap wajahku lalu kemudian pergi tanpa pamit. Ia tak enak hati telah membentaknya tadi.

“Di, gue butuh lo,” kata Lika setengah sadar.

“Gue ada disini. Lo tenang aja,” ***

Air mataku tak kunjung reda ketika menatap nisan didepanku yang bertuliskan nama Lika Asra. Ia merenggang nyawa tepat dihadapanku. Tepat pada hari saat ia kecelakaan, Lika langsung menghadap sang khalik.

Masih terngiang ditelinganya ucapan Lika sebelum pergi. “Adi, gue sayang sama lo. Tapi gue nggak mau lo nyakitin Vera. Dia adik kandung gue. Jagain dia dan jadi orang yang terbaik buat dia. Maaf gue nggak cerita semuanya dari awal.”

Aku melihat mata Vera membengkak karena menangis. Merasa terikat dengan janji, aku akan melakukan apa yang diminta Lika, walaupun aku masih bingung dengan misteri dibalik kisah Lika. Aku pun iba karena pada saat Vera berada di rumah sakit, ia tak benar-benar tahu kalau ternyata kakaknya-lah yang kecelakaan.

Aku berjalan menghampiri Vera yang jongkok disisi lain makam Lika. Tanganku melingkari pundaknya. “Maafin gue, Vera.”