“Non,
bangun non”
“Iya,
bi. Ini udah bangun kok.”
Sintia
langsung bergegas ke kamar mandi tanpa loyo. Bibi Ratna tersenyum dari balik tubuh
Sintia yang berjalan sedikit sempoyongan. Sintia mengencangkan dasinya. Kini ia
sudah siap untuk pergi sekolah. Kakinya mulai melangkah keluar kamar. Tanpa buru-buru,
Sintia menuruni beberapa anak tangga. Sesampainya di lantai utama, beberapa
pekerja rumah tangga di rumahnya tersenyum sederhana padanya.
“Pagi
non, Sintia.” Kata mereka. Sintia tersenyum.
Mata sayunya tersenyum
bahagia saat ia menghampiri mamah dan papahnya di meja makan. Mamah sedang
menyiapkan untuk suami dan anaknya, sedangkan papah sedang membaca koran yang
sudah menjadi langganan beliau.
“Udah
bangun sayang? Sini kita makan dulu.”
Mamah
dan papah bersamaan menciumi putri semata wayang mereka. Setelah itu, Sintia dan papah berangkat
untuk melakukan aktifitas seperti biasa. Papah mengantar Sintia menuju sekolah.
“Siiiintiiia!
Selamat pagi cantik.”
Sintia turun dari mobil lalu menghampiri mereka. Sintia menghampiri
karib-karibnya itu lalu berpelukan.
“Katanya
kemarin kamu sakit ya?”
“Iya
nih. Tapi cuma demam dikit kok.” Jawab Sintia.
“Oh,
tapi sekarang udah sehat kan? Syukur deh.”
Sintia
senang diperhatikan semacam itu. Hatinya bahagia. Mereka pergi ke kelas bersama.
Tepat sekali bel berbunyi. Semua teman sekelasnya berhamburan menuju bangku
mereka masing-masing, termasuk Sintia. Guru matematika, pak dadang, masuk
dengan sebuah salam.
“Waalaikum Salam Warohmatullohi
Wabarokatuh.” Jawab murid-murid.
“Ada
tugas kan? Siapa yang mau maju ke depan untuk mengerjakannya?”
“Aku
aja, pak!” kata Sintia mengacungkan tangan.
Dengan enteng dan percaya diri,
Sintia maju ke depan kelas bersama dengan buku catatannya. Tidak sampai
beberapa menit, kumpulan angka-angka telah menempel di papan tulis. Serempak, alunan tepuk tangan menusuk
pendengaran Sintia. Pak Dadang sepertinya bangga karena soal yang sangat susah
itu bisa terpecahkan oleh muridnya.
“Lo emang hebat mamen!” kata
salah satu anggota se-geng-nya.
“Biasa aja tau.” Sanggah Sintia.
Semua teman sekelasnya langsung
ricuh dan berkicau ini-itu setelah guru biologi selesai mengajarkan mereka. Kini
mereka sedang sibuk membenahi perlengkapan sekolah mereka masing-masing untuk
segera berangkat pulang.
Sintia berjalan keluar ruangan
kelas. Ia menemukan Dimas duduk di beranda kelas sendirian.
“Kalian pulang duluan aja, ya. Bye.”
Kata Sintia.
“Lo pasti pulang bareng sama dia
kan? Dimas, jagain anak ini ya.” Gerombolan gadis itu pergi menjauh.
“Kita jalan-jalan dulu yuk? Gue pengen
habisin hari ini sama kamu.” Kata Dimas.
“Iya, ayo.”
Sintia dan Dimas melesat ke jalan
raya dengan kendaraan kesayangan Dimas. Rambut Sintia menari-nari akibat
hembusan yang dilontarkan angin. Sesampainya, motor Dimas langsung terparkir rapih
di sebuah rumah makan sederhana. Sintia turun dan menunggu Dimas melepaskan
helm-nya. Mereka berjalan masuk, bersamaan. Tapi karena begitu senang, Sintia
melepaskan genggamannya dari Dimas. Ia berlari kecil menuju souvenir unik dari
tempat makan itu.
“Sin, hati-hati itu lantainya
basah!” kata Dimas.
Sintia menoleh ke belakang, lalu
berkata “Iya, Dim. Aku bakal hati-hati kok.”
Sintia melihat ke depan lagi, ada
tiang besar dihadapannya. Dan...
***
BUK! “Aww.....”
rintih Sintia ketika sadar bahwa dirinya jatuh dari kasur. Ia mengusap-usap
bokongnya yang terpentok. Matanya setengah
terbuka, ia masih ngantuk.
“Ada
apa itu? Kalau tidur bisa diam nggak sih?” kata mamah.
Sintia
mendengus kesal. Ia menepuk-nepuk perlahan jidatnya.
“Andai
mimpi tadi adalah kenyataan. Haaahhh.” Ucapnya penuh keluh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar