Minggu, 06 Oktober 2013

Unreal

            “Non, bangun non”
            “Iya, bi. Ini udah bangun kok.”
Sintia langsung bergegas ke kamar mandi tanpa loyo. Bibi Ratna tersenyum dari balik tubuh Sintia yang berjalan sedikit sempoyongan. Sintia mengencangkan dasinya. Kini ia sudah siap untuk pergi sekolah. Kakinya mulai melangkah keluar kamar. Tanpa buru-buru, Sintia menuruni beberapa anak tangga. Sesampainya di lantai utama, beberapa pekerja rumah tangga di rumahnya tersenyum sederhana padanya.
            “Pagi non, Sintia.” Kata mereka. Sintia tersenyum.
Mata sayunya tersenyum bahagia saat ia menghampiri mamah dan papahnya di meja makan. Mamah sedang menyiapkan untuk suami dan anaknya, sedangkan papah sedang membaca koran yang sudah menjadi langganan beliau.
“Udah bangun sayang? Sini kita makan dulu.”
Mamah dan papah bersamaan menciumi putri semata wayang mereka.  Setelah itu, Sintia dan papah berangkat untuk melakukan aktifitas seperti biasa. Papah mengantar Sintia menuju sekolah.
“Siiiintiiia! Selamat pagi cantik.”
Sintia turun dari mobil lalu menghampiri mereka. Sintia menghampiri karib-karibnya itu lalu berpelukan.
“Katanya kemarin kamu sakit ya?”
“Iya nih. Tapi cuma demam dikit kok.” Jawab Sintia.
“Oh, tapi sekarang udah sehat kan? Syukur deh.”
Sintia senang diperhatikan semacam itu. Hatinya bahagia. Mereka pergi ke kelas bersama. Tepat sekali bel berbunyi. Semua teman sekelasnya berhamburan menuju bangku mereka masing-masing, termasuk Sintia. Guru matematika, pak dadang, masuk dengan sebuah salam.

“Waalaikum Salam Warohmatullohi Wabarokatuh.” Jawab murid-murid.

            “Ada tugas kan? Siapa yang mau maju ke depan untuk mengerjakannya?”

            “Aku aja, pak!” kata Sintia mengacungkan tangan.

Dengan enteng dan percaya diri, Sintia maju ke depan kelas bersama dengan buku catatannya. Tidak sampai beberapa menit, kumpulan angka-angka telah menempel di papan tulis. Serempak, alunan tepuk tangan menusuk pendengaran Sintia. Pak Dadang sepertinya bangga karena soal yang sangat susah itu bisa terpecahkan oleh muridnya.

“Lo emang hebat mamen!” kata salah satu anggota se-geng-nya.

“Biasa aja tau.” Sanggah Sintia.

Semua teman sekelasnya langsung ricuh dan berkicau ini-itu setelah guru biologi selesai mengajarkan mereka. Kini mereka sedang sibuk membenahi perlengkapan sekolah mereka masing-masing untuk segera berangkat pulang.

Sintia berjalan keluar ruangan kelas. Ia menemukan Dimas duduk di beranda kelas sendirian.

“Kalian pulang duluan aja, ya. Bye.” Kata Sintia.

“Lo pasti pulang bareng sama dia kan? Dimas, jagain anak ini ya.” Gerombolan gadis itu pergi menjauh.

“Kita jalan-jalan dulu yuk? Gue pengen habisin hari ini sama kamu.” Kata Dimas.

“Iya, ayo.”

Sintia dan Dimas melesat ke jalan raya dengan kendaraan kesayangan Dimas. Rambut Sintia menari-nari akibat hembusan yang dilontarkan angin. Sesampainya, motor Dimas langsung terparkir rapih di sebuah rumah makan sederhana. Sintia turun dan menunggu Dimas melepaskan helm-nya. Mereka berjalan masuk, bersamaan. Tapi karena begitu senang, Sintia melepaskan genggamannya dari Dimas. Ia berlari kecil menuju souvenir unik dari tempat makan itu.

“Sin, hati-hati itu lantainya basah!” kata Dimas.

Sintia menoleh ke belakang, lalu berkata “Iya, Dim. Aku bakal hati-hati kok.”

Sintia melihat ke depan lagi, ada tiang besar dihadapannya. Dan...

***

            BUK! “Aww.....” rintih Sintia ketika sadar bahwa dirinya jatuh dari kasur. Ia mengusap-usap bokongnya yang terpentok.  Matanya setengah terbuka, ia masih ngantuk.

            “Ada apa itu? Kalau tidur bisa diam nggak sih?” kata mamah.

            Sintia mendengus kesal. Ia menepuk-nepuk perlahan jidatnya.

            “Andai mimpi tadi adalah kenyataan. Haaahhh.” Ucapnya penuh keluh.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar