Sabtu, 12 Oktober 2013

kamu adalah perih itu



                Tangannya masih merangkulku dan memaksaku untuk menyandarkan kepalaku di bahunya. Air mataku masih menyelinap keluar satu-satu. Matanya menatap jauh ke depan masih memikirkan apa yang tadi aku ceritakan.
                “Tuhan tidak adil, ya?” kataku.
                “Kamu enggak pantes bilang kaya gitu.”
                “Tapi aku bener-bener enggak suka sama rencana Dia yang ngebikin hidup aku berantakan seperti ini.”
                Tiba-tiba lengannya yang melingkar di bahuku lepas. Untuk sementara waktu dia diam dengan tangan mengepal. Aku mencoba melihat apa yang dilihatnya di depan sana.
                “Sekarang kamu harus percaya kalau Tuhan itu akan membuat rencana yang bagus buat kamu. Kamu harus percaya itu. Masalah kamu itu masih gak ada harganya.” Katanya.
                “Aku di acuhin oleh lelakiku sendiri. Dan kamu pasti enggak tahu rasanya kaya gimana!” aku mendumel.
                Aku tahu bahwa lelaki yang ada didepanku ini benar-benar bijaksana dan peduli, jauh berbeda dengan kekasihku. Entah kenapa aku bisa menebak karakternya sekejap. Padahal aku baru mengenalnya barusan. Baru mengenalnya di saat aku duduk menangis dibangku panjang ini sendirian, di tengah taman nan ramai, dan dia tiba-tiba muncul menghampiriku.
                Seolah, aku bagai di hipnotis olehnya untuk menceritakan semua problemaku, dan aku menurut. Aku tidak memberontak ketika dia menarikku ke dada bidangnya. Justru aku sangat nyaman dan dengan percaya diri menangis disitu.
                “Memang aku nggak tahu masalahnya kaya gimana, tapi paling enggak kamu harus bisa ngehandle semua itu baik-baik”
                “Tapi sakit banget rasanya, asal kamu tahu itu.”
                Ucapanku barusan lewat begitu saja, tak di anggap olehnya. Karena dia tiba-tiba berdiri dan pergi. Aku melihatnya berjalan sendiri. Bug! Aku kaget saat lelaki itu menonjok keras rahang laki-laki yang sedang bermesraan dengan perempuannya dibawah pohon, di taman.
                Sebelumnya, aku melihat pasangan tadi itu sedang berciuman erotik di depan umum dan sekarang yang terlihat hanya seorang laki-laki yang aku kenal tadi memukuli laki-laki yang entah siapa. Perempuan yang ada di sana menangis sedu-sedan. Aku menganga.
                Aku sedikit takut saat Doni, lelaki yang baru aku kenal tadi, berjalan ke arahku. Aku takut dia melukaiku.
                “Kamu udah lihat kan? Masih ada masalah yang lebih besar dari pada perkara kamu itu.”
                “Mereka siapa?”
                “Wanita itu istriku.” Kata Doni.
                Aku diam mematung. Aku langsung tersadar betapa aku tidak tahu diri dan tidak pernah bersyukur terhadap-Nya.
                “Cukup aku saja yang tidak percaya pada-Nya.” Kata Doni halus.
                “Don, kamu baik-....”
                Mataku mengerjap. Jantungku berpacu kencang, tidak normal. Darahku sepertinya membeku di saat Doni secepat kilat menaruh bibirnya di bibirku. Tapi perasaan ini seperti tak kosong, rasanya seperti terisi penuh dengan kebahagiaan. Tapi dengan secepat kilat pula, ia menarik bibirnya kembali ke asalnya.
                “Aku tahu kalau kamu bisa hadapin semuanya.” Katanya lagi.
                Dia pergi menjauh lalu menghilang. Ia membiarkan aku terduduk sendiri, merenung memikirkan segala hal yang terjadi secepat ini. Aku menangis di bangku ini sendiri lagi. Sama seperti yang aku lakukan sebelum aku mengenal Dony.
                Ia sudah pergi menghilang, kapankah aku bisa bertemu dengannya lagi? Aku rasa aku mencintainya. Sekarang aku percaya kalau kejadian ini bukanlah kebetulan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar