Tangannya masih merangkulku dan
memaksaku untuk menyandarkan kepalaku di bahunya. Air mataku masih menyelinap
keluar satu-satu. Matanya menatap jauh ke depan masih memikirkan apa yang tadi
aku ceritakan.
“Tuhan tidak adil, ya?” kataku.
“Kamu enggak pantes bilang kaya
gitu.”
“Tapi aku bener-bener enggak
suka sama rencana Dia yang ngebikin hidup aku berantakan seperti ini.”
Tiba-tiba lengannya yang
melingkar di bahuku lepas. Untuk sementara waktu dia diam dengan tangan
mengepal. Aku mencoba melihat apa yang dilihatnya di depan sana.
“Sekarang kamu harus percaya
kalau Tuhan itu akan membuat rencana yang bagus buat kamu. Kamu harus percaya
itu. Masalah kamu itu masih gak ada harganya.” Katanya.
“Aku di acuhin oleh lelakiku
sendiri. Dan kamu pasti enggak tahu rasanya kaya gimana!” aku mendumel.
Aku tahu bahwa lelaki yang ada
didepanku ini benar-benar bijaksana dan peduli, jauh berbeda dengan kekasihku. Entah
kenapa aku bisa menebak karakternya sekejap. Padahal aku baru mengenalnya
barusan. Baru mengenalnya di saat aku duduk menangis dibangku panjang ini
sendirian, di tengah taman nan ramai, dan dia tiba-tiba muncul menghampiriku.
Seolah, aku bagai di hipnotis
olehnya untuk menceritakan semua problemaku, dan aku menurut. Aku tidak
memberontak ketika dia menarikku ke dada bidangnya. Justru aku sangat nyaman
dan dengan percaya diri menangis disitu.
“Memang aku nggak tahu
masalahnya kaya gimana, tapi paling enggak kamu harus bisa ngehandle semua itu baik-baik”
“Tapi sakit banget rasanya, asal
kamu tahu itu.”
Ucapanku barusan lewat begitu
saja, tak di anggap olehnya. Karena dia tiba-tiba berdiri dan pergi. Aku melihatnya
berjalan sendiri. Bug! Aku kaget saat lelaki itu menonjok keras rahang
laki-laki yang sedang bermesraan dengan perempuannya dibawah pohon, di taman.
Sebelumnya, aku melihat pasangan
tadi itu sedang berciuman erotik di depan umum dan sekarang yang terlihat hanya
seorang laki-laki yang aku kenal tadi memukuli laki-laki yang entah siapa. Perempuan
yang ada di sana menangis sedu-sedan. Aku menganga.
Aku sedikit takut saat Doni,
lelaki yang baru aku kenal tadi, berjalan ke arahku. Aku takut dia melukaiku.
“Kamu udah lihat kan? Masih ada
masalah yang lebih besar dari pada perkara kamu itu.”
“Mereka siapa?”
“Wanita itu istriku.” Kata Doni.
Aku diam mematung. Aku langsung
tersadar betapa aku tidak tahu diri dan tidak pernah bersyukur terhadap-Nya.
“Cukup aku saja yang tidak
percaya pada-Nya.” Kata Doni halus.
“Don, kamu baik-....”
Mataku mengerjap. Jantungku berpacu
kencang, tidak normal. Darahku sepertinya membeku di saat Doni secepat kilat
menaruh bibirnya di bibirku. Tapi perasaan ini seperti tak kosong, rasanya
seperti terisi penuh dengan kebahagiaan. Tapi dengan secepat kilat pula, ia
menarik bibirnya kembali ke asalnya.
“Aku tahu kalau kamu bisa
hadapin semuanya.” Katanya lagi.
Dia pergi menjauh lalu
menghilang. Ia membiarkan aku terduduk sendiri, merenung memikirkan segala hal
yang terjadi secepat ini. Aku menangis di bangku ini sendiri lagi. Sama seperti
yang aku lakukan sebelum aku mengenal Dony.
Ia sudah pergi menghilang,
kapankah aku bisa bertemu dengannya lagi? Aku rasa aku mencintainya. Sekarang aku
percaya kalau kejadian ini bukanlah kebetulan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar