“aku benar-benar kecewa soal
itu.. Percuma mulutku berbui sampai robek. Kau takkan pernah paham maksudku. Dan
jika kalturalis masih mengikat kuat didalam pikiranmu, sampai mampus pun kau
takkan bisa terima aku.” -Kahlil Gibran-
Menuntaskan rindu hingga hampir benar-benar hilang tak akan pernah terjadi meskipun aku
telah bertemu dengan wujudmu. Aku sesak menahan rindu yang mencekik. Rasa rindu
ini takkan mungkin hilang jika tak bisa memecah lewat kata-kata untuk bisa aku
perdengarkan padamu. Aku bukanlah ‘si pengecut’ yang takut untuk jujur. Tapi
lihat, sebuah kata EGO masih tertulis tebal dijidatmu.
Kamu tak
akan pernah peka meskipun aku bertingkah seperti orang gila dan berteriak
memekakan telingamu. Banyak hal yang terus kamu permasalahkan. Kamu secara
tidak langsung membunuh hati ini perlahan-lahan. Bermain saja, kau, hei gadis
terindah, dengan duniamu sendiri. Sejujurnya, apa yang kamu pikirkan saat kamu
sibuk dengan hal-hal yang tidak jelas itu?
Tanganmu dingin. Apa kamu lelah dengan keadaan yang kamu
rasakan saat ini? Justru aku yang paling lelah dalam posisi ini. Kamu tak tahu,
meskipun kamu terkujur kaku di kasur tipis ini, tapi debaran jantungku masih
tak bisa aku kendalikan. Benarkan? Diposisi ini aku yang paling menderita. Aku terus
berulang kali menyatakan cinta, membisikkan rindu, menghangatkan tanganmu,
menghabiskan waktu, hanya untuk kamu yang cuma bisa diam, tertidur pulas.
Aku ingin terus mempertanyakan keadaan ini. Kenapa aku mendapatkan
cinta yang menyakiti hati sedangkan di sudut lain berjuta pasangan merasakan
cinta yang mengindahkan dunia mereka. Aku tak tahu seberapa kuatnya buih
bidsamu yang kau campurkan ke dalam rongga dadaku sehingga bisa sampai-sampai
membuat air mataku terurai.
Aku bukanlah dokter yang paham bagaimana sebetulnya cara
kerja penyakitmu yang merobohkan kesehatanmu. Aku bukan pula Tuhan yang mampu
hanya dengan kedipan mata bisa menghilangkan luka dijiwamu dan membangunkanmu
dari tidur panjang.
Siapa yang menyangka, ternyata didalam pulasnya tidurmu,
aku tak tahu bahwa didalam bait-bait mimpimu, kau sedang beradu sengit dengan ‘sang
malaikat pencabut nyawa’. Maaf aku terlalu egois untuk tahu bahwa kau ternyata
mencari sebuah kesepakatan dari beberapa pilihan yang telah ditawarkannya. Tapi
kenapa kamu memilih terbang ke langit yang tinggi disana ketimbang memilih
bertahan hidup dengan mahkluk keji ini? Aku? Apa kau sudah lelah dengan
kefanaan dunia ini? Jujur, aku masih belum mampu mendapat cerita separah ini. Aku
masih belum siap berjalan tanpa kau ikuti.
Biarkan aku membungkukkan tubuh, biarkan aku
mencondongkan raga ini pada dirimu. Ikhlaskanlah aku mengecup lembut bibir
merahmu sebagai perpisahan sebelum akhirnya nanti objek itu akan membiru. Biarkan
aku mendapatkan waktu, menempelkan bibir yang bergetar ini untuk mencari arti
bahagia dalam kesedihan. Biarkan aku merutuki diriku sendiri karena menganggapmu
egois.