Kamis, 24 Oktober 2013

SALING


               
Mima menghentak ke balik dinding, sedikit-sedikit mengintip ke ruangan aula. Disudut lain, Doni celingukan kesana-kemari mencari si pemilik air minum yang meninggalkan air minum di dekat tasnya. Mima terkekeh geli melihat wajah Doni yang kebingungan. Ternyata Mima diam-diam memberi air minum tadi dengan meletakkannya di dekat barang-barang karate milik Doni.
                “Hey! Lo lagi ngapain sih disini? Ayo cepet kita gladiresik!”
                Mima yang tadi dikagetkan, dengan refleks berteriak kecil. Matanya nanar melihat kawannya tertawa geli.
                “Ah, lo ngagetin aja! Piramidnya udah pada yakin kuat kan?”
                “Udah.. ngomong-ngomong, lo ngapain sih? Apet banget kayanya sama tembok ini.”
                “Gue suka sama cowok yang itu tuh,” kata Mima sambil menunjuk Doni dengan jari telunjuknya.
                “Emang siapa namanya? Lo kenal dia dari mana?”
                “Namanya setahu gue, Doni. Gue nggak kenal. Baru kenal pas olimpiade olahraga sekarang ini aja,” tukas Mima.
                “Ya udah nanti kita ke sini lagi deh, tapi habis kita show ya! I swear, deh.”
                                                                                                ***
                Hati Doni kembang-kempis. Ia gugup dan takut saat melihat Mima berada di paling puncak pondasi dari anggota-anggota cheerleader tersebut. Walau sebenarnya, Doni takjub dengan penampilan cheerleader Mima. Semua strukturnya benar-benar di atur secara matang.
                “Lo daritadi serius banget. Lo merhatiin siapa sih, Don?”
                “Oh, gue naksir sama cewe itu tuh.” Tangannya menunjuk keberadaan Mima.
                “Dia siapa dan anak mana, ya?” kata Doni lagi.
                Mima kecewa saat melihat Doni beranjak dari kursi penonton dan tidak melihat penampilannya secara utuh. Ia menempis keringatnya. Sedikit kaget karena air minum tiba-tiba tersedia di tumpukkan pom-pomnya.

Kamis, 17 Oktober 2013

UANG BUKANLAH CINTA



                Kali ini aku diserahkan pada siapa lagi? Mataku menyipit saat dompet terbuka, aku dikeluarkan dari dompet lelaki.
                “Sayang, aku mau baju-baju itu dong!” Lelaki menunjukkan tubuhku pada perempuan. Padahal teman-temanku masih banyak di dompetnya.
                “Kamu nggak sayang sama aku lagi? Kita putus!”
                Lelaki berjalan keluar butik sendirian. Emosinya dilampiaskan padaku. Aku diremukkan, secara paksa dimasukkan ke dalam sakunya. Tapi aku tidak masuk, aku malah jatuh.
                Bocah pengamen menghampiriku lalu menggenggam tubuhku. “Aku gunakan jangan?” Dia bingung. Aku di bawa ke warung. Aku ditukarkan dengan makanan dan sejumlah obat.
                                                                                ***
                “Bapak!” Yono berteriak saat mengetahui kalau bapaknya meninggal. Ia pikir makanan tadi bisa membuat bapak sehat. Apa guna ia banting tulang seharian, sedangkan saat bapaknya sakratul maut, ia malah tidak ada?

Aku tahu ini jelek. Tapi aku bersyukur udah bisa masuk 10 besar. Wish me luck next event ya :”)

Sabtu, 12 Oktober 2013

kamu adalah perih itu



                Tangannya masih merangkulku dan memaksaku untuk menyandarkan kepalaku di bahunya. Air mataku masih menyelinap keluar satu-satu. Matanya menatap jauh ke depan masih memikirkan apa yang tadi aku ceritakan.
                “Tuhan tidak adil, ya?” kataku.
                “Kamu enggak pantes bilang kaya gitu.”
                “Tapi aku bener-bener enggak suka sama rencana Dia yang ngebikin hidup aku berantakan seperti ini.”
                Tiba-tiba lengannya yang melingkar di bahuku lepas. Untuk sementara waktu dia diam dengan tangan mengepal. Aku mencoba melihat apa yang dilihatnya di depan sana.
                “Sekarang kamu harus percaya kalau Tuhan itu akan membuat rencana yang bagus buat kamu. Kamu harus percaya itu. Masalah kamu itu masih gak ada harganya.” Katanya.
                “Aku di acuhin oleh lelakiku sendiri. Dan kamu pasti enggak tahu rasanya kaya gimana!” aku mendumel.
                Aku tahu bahwa lelaki yang ada didepanku ini benar-benar bijaksana dan peduli, jauh berbeda dengan kekasihku. Entah kenapa aku bisa menebak karakternya sekejap. Padahal aku baru mengenalnya barusan. Baru mengenalnya di saat aku duduk menangis dibangku panjang ini sendirian, di tengah taman nan ramai, dan dia tiba-tiba muncul menghampiriku.
                Seolah, aku bagai di hipnotis olehnya untuk menceritakan semua problemaku, dan aku menurut. Aku tidak memberontak ketika dia menarikku ke dada bidangnya. Justru aku sangat nyaman dan dengan percaya diri menangis disitu.
                “Memang aku nggak tahu masalahnya kaya gimana, tapi paling enggak kamu harus bisa ngehandle semua itu baik-baik”
                “Tapi sakit banget rasanya, asal kamu tahu itu.”
                Ucapanku barusan lewat begitu saja, tak di anggap olehnya. Karena dia tiba-tiba berdiri dan pergi. Aku melihatnya berjalan sendiri. Bug! Aku kaget saat lelaki itu menonjok keras rahang laki-laki yang sedang bermesraan dengan perempuannya dibawah pohon, di taman.
                Sebelumnya, aku melihat pasangan tadi itu sedang berciuman erotik di depan umum dan sekarang yang terlihat hanya seorang laki-laki yang aku kenal tadi memukuli laki-laki yang entah siapa. Perempuan yang ada di sana menangis sedu-sedan. Aku menganga.
                Aku sedikit takut saat Doni, lelaki yang baru aku kenal tadi, berjalan ke arahku. Aku takut dia melukaiku.
                “Kamu udah lihat kan? Masih ada masalah yang lebih besar dari pada perkara kamu itu.”
                “Mereka siapa?”
                “Wanita itu istriku.” Kata Doni.
                Aku diam mematung. Aku langsung tersadar betapa aku tidak tahu diri dan tidak pernah bersyukur terhadap-Nya.
                “Cukup aku saja yang tidak percaya pada-Nya.” Kata Doni halus.
                “Don, kamu baik-....”
                Mataku mengerjap. Jantungku berpacu kencang, tidak normal. Darahku sepertinya membeku di saat Doni secepat kilat menaruh bibirnya di bibirku. Tapi perasaan ini seperti tak kosong, rasanya seperti terisi penuh dengan kebahagiaan. Tapi dengan secepat kilat pula, ia menarik bibirnya kembali ke asalnya.
                “Aku tahu kalau kamu bisa hadapin semuanya.” Katanya lagi.
                Dia pergi menjauh lalu menghilang. Ia membiarkan aku terduduk sendiri, merenung memikirkan segala hal yang terjadi secepat ini. Aku menangis di bangku ini sendiri lagi. Sama seperti yang aku lakukan sebelum aku mengenal Dony.
                Ia sudah pergi menghilang, kapankah aku bisa bertemu dengannya lagi? Aku rasa aku mencintainya. Sekarang aku percaya kalau kejadian ini bukanlah kebetulan.

Minggu, 06 Oktober 2013

Unreal

            “Non, bangun non”
            “Iya, bi. Ini udah bangun kok.”
Sintia langsung bergegas ke kamar mandi tanpa loyo. Bibi Ratna tersenyum dari balik tubuh Sintia yang berjalan sedikit sempoyongan. Sintia mengencangkan dasinya. Kini ia sudah siap untuk pergi sekolah. Kakinya mulai melangkah keluar kamar. Tanpa buru-buru, Sintia menuruni beberapa anak tangga. Sesampainya di lantai utama, beberapa pekerja rumah tangga di rumahnya tersenyum sederhana padanya.
            “Pagi non, Sintia.” Kata mereka. Sintia tersenyum.
Mata sayunya tersenyum bahagia saat ia menghampiri mamah dan papahnya di meja makan. Mamah sedang menyiapkan untuk suami dan anaknya, sedangkan papah sedang membaca koran yang sudah menjadi langganan beliau.
“Udah bangun sayang? Sini kita makan dulu.”
Mamah dan papah bersamaan menciumi putri semata wayang mereka.  Setelah itu, Sintia dan papah berangkat untuk melakukan aktifitas seperti biasa. Papah mengantar Sintia menuju sekolah.
“Siiiintiiia! Selamat pagi cantik.”
Sintia turun dari mobil lalu menghampiri mereka. Sintia menghampiri karib-karibnya itu lalu berpelukan.
“Katanya kemarin kamu sakit ya?”
“Iya nih. Tapi cuma demam dikit kok.” Jawab Sintia.
“Oh, tapi sekarang udah sehat kan? Syukur deh.”
Sintia senang diperhatikan semacam itu. Hatinya bahagia. Mereka pergi ke kelas bersama. Tepat sekali bel berbunyi. Semua teman sekelasnya berhamburan menuju bangku mereka masing-masing, termasuk Sintia. Guru matematika, pak dadang, masuk dengan sebuah salam.

“Waalaikum Salam Warohmatullohi Wabarokatuh.” Jawab murid-murid.

            “Ada tugas kan? Siapa yang mau maju ke depan untuk mengerjakannya?”

            “Aku aja, pak!” kata Sintia mengacungkan tangan.

Dengan enteng dan percaya diri, Sintia maju ke depan kelas bersama dengan buku catatannya. Tidak sampai beberapa menit, kumpulan angka-angka telah menempel di papan tulis. Serempak, alunan tepuk tangan menusuk pendengaran Sintia. Pak Dadang sepertinya bangga karena soal yang sangat susah itu bisa terpecahkan oleh muridnya.

“Lo emang hebat mamen!” kata salah satu anggota se-geng-nya.

“Biasa aja tau.” Sanggah Sintia.

Semua teman sekelasnya langsung ricuh dan berkicau ini-itu setelah guru biologi selesai mengajarkan mereka. Kini mereka sedang sibuk membenahi perlengkapan sekolah mereka masing-masing untuk segera berangkat pulang.

Sintia berjalan keluar ruangan kelas. Ia menemukan Dimas duduk di beranda kelas sendirian.

“Kalian pulang duluan aja, ya. Bye.” Kata Sintia.

“Lo pasti pulang bareng sama dia kan? Dimas, jagain anak ini ya.” Gerombolan gadis itu pergi menjauh.

“Kita jalan-jalan dulu yuk? Gue pengen habisin hari ini sama kamu.” Kata Dimas.

“Iya, ayo.”

Sintia dan Dimas melesat ke jalan raya dengan kendaraan kesayangan Dimas. Rambut Sintia menari-nari akibat hembusan yang dilontarkan angin. Sesampainya, motor Dimas langsung terparkir rapih di sebuah rumah makan sederhana. Sintia turun dan menunggu Dimas melepaskan helm-nya. Mereka berjalan masuk, bersamaan. Tapi karena begitu senang, Sintia melepaskan genggamannya dari Dimas. Ia berlari kecil menuju souvenir unik dari tempat makan itu.

“Sin, hati-hati itu lantainya basah!” kata Dimas.

Sintia menoleh ke belakang, lalu berkata “Iya, Dim. Aku bakal hati-hati kok.”

Sintia melihat ke depan lagi, ada tiang besar dihadapannya. Dan...

***

            BUK! “Aww.....” rintih Sintia ketika sadar bahwa dirinya jatuh dari kasur. Ia mengusap-usap bokongnya yang terpentok.  Matanya setengah terbuka, ia masih ngantuk.

            “Ada apa itu? Kalau tidur bisa diam nggak sih?” kata mamah.

            Sintia mendengus kesal. Ia menepuk-nepuk perlahan jidatnya.

            “Andai mimpi tadi adalah kenyataan. Haaahhh.” Ucapnya penuh keluh.


Jumat, 04 Oktober 2013

kecelakaan



                Aku membuka mata lalu terdiam sejenak. Selanjutnya, menangis dalam kesendirian. Aku sengaja tak memberikan suara raungan dalam sedih ini, aku tahu kalau seseorang mengintai ragaku.
                “Ba, lo nangis lagi? Udahan dong, ba, sedihnya.”
                Benar saja, orang yang tadi mengintip dari pintu kamarku yang setengah terbuka tadi masuk ke kamar dengan santai sambil mencoba menghiburku. Aku melirik keberadaannya lewat sudut mataku, ia sudah berbaring di kasur.
                “Lo nggak pernah ngerasain kangen sama orang? Sakit tahu rasanya!” ucapku membentak.
                “Gue sering kok kangen kaya kamu gini. Tapi kamu harus bisa lebih kuat.”
                “Jangan sok ngajarin gue. Lo nggak pernah, kan, kangen sama orang yang sudah meninggal?”
                “Gue emang nggak pernah ngerasain, tapi bukan berarti kamu jadi melankolis kaya gini.” Kata Winda.
                “Tutup mulut lo deh. Jangan pura-pura peduli sama gue! Lo penyebab semua ini tahu.” Emosiku memuncak.
                Pandangan gadis itu melayang, sementara waktu ia membisu, hanya meneliti setiap senti sosokku yang amburadul. Mulutku setengah terbuka ketika Winda melenggang pergi dan menghentakkan pintu kencang-kencang. Sebelumnya ia berkata; “Diba, semua ini bukan seperti yang lo kira.”
                Air mengucur deras dari pelupuk. Badanku bergoncang karena menahan rengekan.
                Waktu itu, beberapa bulan yang lalu, Dio meninggal karena kecelakaan mobil. Aku bersamanya saat itu. Di dalam mobil, kami beradu mulut hebat. Dio tidak fokus mengendarai mobilnya karena teriakanku yang memekakan telinganya. Hingga akhirnya di sebuah perempatan jalan, Dio tak melihat lampu lalu lintas, mobilnya tertabrak oleh truk yang ingin melintas berlainan arah dengan mobil kami saat itu. Dio menjadi korban jiwa, sedangkan aku hanya luka ringan di daerah kepala.
                Aku benci. Sangat benci. Hal ini terjadi karena semua penyebab itu adalah karena Winda. Ia
terlalu murah, bisa-bisanya ia mendekati Dio yang jelas-jelas sudah jadi milikku. Waktu itu Winda dan Dio sama-sama mengelak, menurut mereka, mereka hanya dekat sebagai teman saja. Tapi mata kepalaku berkata lain. “Ba, gue cuma curhat doang kok ke cowok lo.” Kata Winda. “Kalau cemburu, bukan gini caranya. Berpikir jernih dulu dong” sanggah Dio.
                Kalau kenyataannya ternyata benar seperti apa yang di katakan mereka, berarti aku yang salah karena sudah berpikiran buruk pada Dio. Tapi semua sudah terlanjur menjadi bubur. Menurutku, Winda yang masih harus dipersalahkan dalam keadaan ini. Dia penyebab semuanya. Saat itu, kan, aku tidak tahu apa-apa. Hanya “menyangka” hubungan mereka saja. Kalau saja Winda menceritakannya secara rinci pasti tidak begini keadaannya. Ah! Persetan. Seperti itulah ceritanya, kurasa.
                Aku mengumpulkan barang-barang yang membuatku mengenang segala hal tentang Dio. Yang membuatku selalu merindukannya. Aku mengumpulkannya dalam sebuah plastik besar. Aku beranjak pergi menuju lantai paling atas.
                Aku menarik napas panjang ketika angin menerpa wajahku ringan. Kedua tanganku memeluk plastik tadi. Satu per satu kakiku melangkah menuju pagar yang membatasi wilayah tempat jemuran di lantai tiga. Aku menaiki pagar itu, berdiri di atasnya. Aku menyeringai. Tersenyum. Lalu melompat.
                “Aaaaaaaaah.......”
***
                “Astaga apa itu?” tanya Winda. Buru-buru ia berlari keluar, mencari tahu apa yang terjadi.
                Langkahnya berhenti seketika, saat melihat raga Diba terkujur kaku di tanah. Mulut dan kepalanya mengekskresikan darah. Winda menatap ngeri. Tapi pandangannya teralih pada secarik kertas yang menyelip di tangan Diba. Winda mengambilnya dan membaca tulisan yang tertera disitu.
               "Aku kangen banget sama Dio. Aku nyusul dia dulu ya."
                Air mata Winda menitik. Andai waktu itu Diba tahu segalanya.
                “Semuanya nggak kaya yang lo kira, Ba.”