Titik-titik air mata Vera jatuh
berirama seiringan isakannya berpadu senada dengan melodi alam yang dibuat
rintik hujan. Tiada yang tahu air mata itu terjatuh, karena telah bercampur
dengan cairan hujan yang ikut menyatu dipipinya. Kebahagiaannya lengkap sudah.
Turunnya hujan saat ini ialah kebahagiaan yang menyusup ke setiap senti
tubuhnya, membasahi kering jiwanya.
***
“ayolah, Ver. Ini enggak
se-kanak-kanak yang kamu pikir”
“nanti kamu sakit. Please deh ka…”
“paling enggak kamu rasain hujannya
dengan tangan kamu”
Tiba-tiba Raka menarik lengan Vera.
Memaksanya untuk ikut kegiatan yang sedang dilakukan Raka saat itu. Vera
terkesiap karena dikejutkan oleh tindakan Raka lagi. Vera dipeluknya erat.
“kalau kamu kedinginan, semoga
pelukan ini bisa buat kamu hangat. I love you!”
“kenapa kamu masih suka
hujan-hujanan? Kamu lupa sama kondisi kamu?”
“semua penyakitnya sudah terlanjur
menyebar. Jadi percuma. Cepat atau lambat, aku bakal…”
“aku mohon bertahan buat aku.”
“hujan ini memang gak bikin
penyakitku membaik, justru sebaliknya. Tapi hujan ini bikin luka hati aku
hilang. Aku merasa jatuh cinta lagi tiap kali hujan ini menimpa ubun-ubun aku”
“terhadapku?”
“iya, Vera. Kamu dan hujan
sama-sama membuat hati aku terenyuh tiap hari.”
Tubuh Raka menimpa Vera, terpaksa
ia harus menahan tubuh Raka sampai mendapat pertolongan. Raka pingsan. Tubuhnya
yang besar terkulai lemas di pelukan Vera.
***
Tepat 15 hari sepeninggalan Raka,
Vera masih bisa membentuk lengkungan manis dibibirnya. Meski tak jarang air
matanya membanjir. Seakan hujan itu menemani kesedihannya, Vera selalu merasa
Raka menemaninya. Dirinya jadi merasa tak sendirian, sepertinya ia sudah
benar-benar jatuh cinta pada ribuan tetes hujan yang datang akhir-akhir ini.
Entah sampai kapan hal ini akan berlangsung. Entah bagaimana nanti keadaannya
jika tetesan surga itu akan benar-benar lenyap sama sekali.