Aku
menarik napas panjang saat membaca pesan dari Vero yang mengungkapkan
perasaannya padaku. Ia bukanlah wanita pertama yang berani meminta aku untuk
jadi pasangannya. Namun kali ini berebda ketika sahabatku sendiri yang meminta
hal itu. ***
Hari
ini Vero sudah sah menjadi kekasihku. Sebagai kewajiban, aku menjemputnya ke
rumah dan pergi ke sekolah bersama. Merasa ada pemandangan baru, orang-orang
langsung menyerbu tanya padaku. Aku melihat gelagat bahagia dalam diri Vero
ketika menjawab pertanyaan teman-temannya. Tapi, entahlah, aku merasa janggal
berada dalam ikatan ini dengan Vero.
“Cie,
lo baru jadian? Pajaknya kali, Di,” kata seorang gadis menghampiriku begitu aku
duduk dikursiku. Aku menghela napas.
Andai aja yang jadian itu kita.
“Pajak apaan, sih?” kataku lalu melengos pergi meninggalkannya.
“Kok,
malah bete? Cerita dong gimana kalian jadian?” ucap Lika sambil memeluk
pundakku ketika sudah menyamai langkahnya denganku.
Aku
duduk dikursi panjang tepat didepan kelas, Lika pun ikut melakukan ha yang
sama. “Dia nembak gue, ya, gue terima,”
“Tapi
lo ada perasaan kan sama dia?”
Aku
menggelengkan kepalaku. Sudah lama aku memendam perasaanku pada Lika. Semuanya
tumbuh ketika kedekatan kami semakin erat.
“Hebat,
ya, cewek berani nembak cowo. Gue juga mau nyatain perasaan gue deh,” ungkap
Lika.
“Ngungkapin
perasaan lo? Ke siapa?” tanyaku bingung.
“Ada
deh! Emansipasi baru dimulai namanya,”
Aku
memalingkan tubuh ke arah lain dengan wajah tertekuk. “Padahal gue sukanya sama
lo,”
Kening
Lika berkerut. Karena tak begitu jelas mendengar ucapanku, ia
mengguncang-guncang tubuhku meminta agar aku mengulangi perkataanku yang
barusan. “Apa? Adi, tadi lo ngomong apa?”
“Gue
suka sama lo,” celetukku.
Lika
tertawa terbahak. “Tapi lo, kan, udah punya pacar. Gue juga mau punya pacar
juga kali,”
“Lo
nggak boleh pacaran sama orang lain, selain gue,”
“Jadi
ceritanya gue harus nungguin lo?”
Melihat
aku yang diam seribu bahasa, ia melanjutkan ucapannya. “Tadi, sih, gue niatnya
mau nembak cowo yang namanya Adi, eh, dianya malah ngungkapin duluan pakai
acara posesif segala lagi hahaha,” ***
“Lo
jangan nunjukkin ke orang kalau lo suka sama gue. Lo, kan, lagi pacaran sama
Vera! Gue jadi kelihatan murah di depan orang lain,” ketus Lika.
Kedua
alisku bertautan. “Gue minta maaf. Gue pikir dengan cara kayak gitu, aku sama
Vera bisa putus”
“Rencana
lo jahat banget, Di. Udah deh jalanin aja sampai dia mutusin hubungan kalian
dengan sendirinya. Jangan sakitin dia, nanti kamu malah dapat balasannya.
Lagipula, aku enggak terobsesi untuk jadi pacar kamu,”
Ponselku
bergetar dan segera aku cari tahu penyebabnya. “Lik, gue jenguk Vera dulu.
Katanya dia sakit,”
Ia
hanya mengangguk sebagai jawaban. Tanpa ini-itu, aku bergegas pergi ke rumah
Vera.
Di
tempat itu, Vera bergelayut manja dilenganku. Meski merasa risih, aku tak tega
melepaskannya. Aku melihat jam yang melingkar ditanganku. Tepat jam enam sore
ketika kudapati layar ponselku menunjukkan nama Lika sedan menghubungiku.
“Halo,”
jawabku. Manusia di ujung telepon sana tak menggubris ucapanku. Yang terdengar
hanyalah suara gesekan benda dan ingar-bingar orang asing. Tut... Tut... Panggilannya di putus. Tapi tak lama, ponselnya
kembali berdering dengan penelepon yang sama. Lika.
“Halo,
mas? Temannya kecelakaan disini. Tolong cepat kesini,”
Ponselku
terjatuh saat mendengar berita tersebut. Aku baru saja beranjak ketika Vera
menahan kepergianku. “Jangan pergi,”
“Tapi
teman gue kecelakaan!”
Wajah
Vera memelas. “Aku ikut,” ***
Aku
mondar-mandir didepan ruang UGD. Sambil meremas-remas tangan, pikiranku berseliweran
tentang hal yang buruk.
“Adi,
aku lapar. Makan, yuk!”
“Aku
ngantuk. Pulang aja, yuk”
Vera
bersungut-sungut di kursi rumah sakit. Aku jengah mendengarnya. “Kalau mau
pulang, sana pergi sendiri! Kenapa tadi ikut-ikutan kesini?” bentakku.
“Adi,
kenapa kamu berbeda? Jahat banget, tau nggak!”
“Gue
mau putus dari lo,” ucapku sekenanya.
“Kenapa
tiba-tiba? Nggak ada angin, nggak ada apa-apa,”
“Kalau
bukan karena teman gue, udah dari dulu gue mutusin lo,”
Sejenak
ia menatap wajahku lalu kemudian pergi tanpa pamit. Ia tak enak hati telah
membentaknya tadi.
“Di,
gue butuh lo,” kata Lika setengah sadar.
“Gue
ada disini. Lo tenang aja,” ***
Air
mataku tak kunjung reda ketika menatap nisan didepanku yang bertuliskan nama
Lika Asra. Ia merenggang nyawa tepat dihadapanku. Tepat pada hari saat ia
kecelakaan, Lika langsung menghadap sang khalik.
Masih
terngiang ditelinganya ucapan Lika sebelum pergi. “Adi, gue sayang sama lo.
Tapi gue nggak mau lo nyakitin Vera. Dia adik kandung gue. Jagain dia dan jadi
orang yang terbaik buat dia. Maaf gue nggak cerita semuanya dari awal.”
Aku
melihat mata Vera membengkak karena menangis. Merasa terikat dengan janji, aku
akan melakukan apa yang diminta Lika, walaupun aku masih bingung dengan misteri
dibalik kisah Lika. Aku pun iba karena pada saat Vera berada di rumah sakit, ia
tak benar-benar tahu kalau ternyata kakaknya-lah yang kecelakaan.
Aku
berjalan menghampiri Vera yang jongkok disisi lain makam Lika. Tanganku
melingkari pundaknya. “Maafin gue, Vera.”