Tubuhnya menggelayut dilenganku.
Kurasa ia terlalu nyaman dengan belaian tanganku dipuncak kepalanya.
Sudah cukup lama aku melamun. Aku
terus memikirkan keadaan Nima. Air mata yang kulihat tertumpah diwajah
seseorang yang kusayang, membuatku merasa bersalah. Hatiku ingin mengejarnya
ketika ia berlari sempoyangan. Tapi ragaku bisa apa? Aku tak berhak menghapus
airmatanya, aku bukanlah siapa-siapa.
“Virgo? Apa yang kamu pikirkan?”
tanya Mala.
“Oh? Bukan apa-apa,”
***
Ada yang menyendat perasaanku ketika beberapa hari ini Nima menjauhiku.
Aku tak tahu apa niatnya, padahal aku ingin menyatakan perasaanku padanya.
Tetapi tiba-tiba Mala datang dengan cerita sedihnya. Aku yang berada disisinya
tak mungkin membiarkannya larut dalam duka. Aku menemaninya sepanjang hari.
Hingga suatu saat, Nima datang dengan celoteh tentang ketidaksukaannya
terhadap Mala. Muncul rasa puas ketika ku ketahui bahwa Nima cemburu, aku malah
semakin menjadi-jadi. Kupikir dengan begitu, Nima tidak akan berpaling dariku.
Tapi semua salah, ketika ia berteriak dengan sekuat tenaga tentang perasaannya.
“Aku suka sama kamu dari dulu, dan kamu nggak pernah sadar tentang hal
itu,” katanya.
Deg! Aku tak menyangka dia akan menyatakan perasaannya. Aku tersenyum
bahagia. Tapi senyumku tertahan ketika ia berkata,
“Selamat,”
Aku tahu persis maksud ucapannya itu. Ia pikir, aku dan Mala sudah
menjadi sepasang kekasih. Aku menengok ke tempat Mala berada, ia malah
tertunduk. Aku tahu Mala merasa bersalah, tapi kenapa ia tak menjelaskan apa
yang sebenarnya terjadi? Aku masih tersenyum ketika Nima menangis tersedu tepat
dimataku. Itu bukan senyum kemenangan, itu senyum miris.
Nima berlari menjauhi kami. Aku tak mampu meraihnya dengan hatiku. Aku
memandang wajah Mala, lalu bertanya padanya.
“Kenapa kamu tak menjelaskan padanya apa yang sedang terjadi? Apa kau tak
merasa bersalah sebagai temannya?”
“Aku memang merasa bersalah padanya, tapi aku tidak ingin kau malah
menjauh dariku ketika aku menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi pada Nima.
Aku sedang merasa pilu, kau tahu? Aku sangat membutuhkanmu saat ini,” jelasnya.
“Kau jahat, Mal! Kenapa kau bisa seegois itu?”
“Kenapa harus aku yang menjelaskan padanya? Kenapa bukan kamu saja?”
tanyanya.
“Entah kenapa, jika aku berada didekatnya, selalu saja aku menjadi seorang
yang penakut,”
***
Rasa bersalah masih saja terus
melayang-layang bersama dengan khayalanku yang lain. Tapi kesadaranku kembali
ketika Nima muncul didepanku. Tidak! Tidak muncul didepanku, ia muncul lalu
melewatiku bagai dua orang asing yang tak pernah mengenal sebelumnya.
“Nimaaaa!” Mulutku spontan menyebut
namanya.
Nima menoleh, mencari asal suara yang
memanggilnya. Ia melihatku keberadaanku tapi tak segera menghampiriku. Ia
terlihat sedang bersama orang lain. Wajahnya sangat berseri hari ini padahal
beberapa hari yang lalu ia terlihat muram karena kejadian waktu itu. Tapi aku
kupikir rasanya lebih lega melihat senyumnya tumbuh kembali daripada ia harus
bersedu dan menjadikan aku menjadi tersangka tentang kesedihannya itu.
“Kamu mau kemana?” tanya Mala ketika
aku melepas pelukannya dan mencoba pergi ke tempat Nima.
“Aku mau menghampiri Nima,” kataku
sembari berlalu meninggalkannya.
Aku setengah berlari menghampiri
Nima. Ketika tepat dihadapan Nima, ia dan juga teman lelakinya memberikan
senyum yang tulus padaku. Aku jadi merasa benar-benar kikuk.
“Hallo, Nim. Aku pikir kamu masih
bersedih,”
“Kenapa aku harus bersedih?” tanya
Nima.
“Aku benar-benar merasa bersalah
karena...” ucapanku terputus.
“Oh, untuk masalah itu, aku harap
kita tidak mengingatnya lagi.”
“Kalau boleh tau siapa dia?” tanyaku
sambil menunjuk keberadaan lelaki itu.
“Aku Virgo. Kekasih Nima,” Virgo
buru-buru memperkenalkan diri.
“Nim? Apa benar dia pacarmu?”
tanyaku.
Nima hanya mengangguk.
“Tapi bukankah kau bilang kalau kamu
mencintaiku?”
“Maafkan aku. Hubunganku dengan dia
ini benar-benar karena sebuah perasaan. Aku harap kamu tidak memikirkan kalau
aku membalas dendam padamu. Tentu saja tidak,” jelas Nima.
“Tapi aku pikir....” kataku terbata.
“Oh untuk masalah itu, aku sudah
menyadari bahwa kamu ternyata hanya obsesiku saja,”