Kamis, 26 Juni 2014

AKU HANYA OBSESINYA



Tubuhnya menggelayut dilenganku. Kurasa ia terlalu nyaman dengan belaian tanganku dipuncak kepalanya.
Sudah cukup lama aku melamun. Aku terus memikirkan keadaan Nima. Air mata yang kulihat tertumpah diwajah seseorang yang kusayang, membuatku merasa bersalah. Hatiku ingin mengejarnya ketika ia berlari sempoyangan. Tapi ragaku bisa apa? Aku tak berhak menghapus airmatanya, aku bukanlah siapa-siapa.
“Virgo? Apa yang kamu pikirkan?” tanya Mala.
“Oh? Bukan apa-apa,”
***
Ada yang menyendat perasaanku ketika beberapa hari ini Nima menjauhiku. Aku tak tahu apa niatnya, padahal aku ingin menyatakan perasaanku padanya. Tetapi tiba-tiba Mala datang dengan cerita sedihnya. Aku yang berada disisinya tak mungkin membiarkannya larut dalam duka. Aku menemaninya sepanjang hari.
Hingga suatu saat, Nima datang dengan celoteh tentang ketidaksukaannya terhadap Mala. Muncul rasa puas ketika ku ketahui bahwa Nima cemburu, aku malah semakin menjadi-jadi. Kupikir dengan begitu, Nima tidak akan berpaling dariku. Tapi semua salah, ketika ia berteriak dengan sekuat tenaga tentang perasaannya.
“Aku suka sama kamu dari dulu, dan kamu nggak pernah sadar tentang hal itu,” katanya.
Deg! Aku tak menyangka dia akan menyatakan perasaannya. Aku tersenyum bahagia. Tapi senyumku tertahan ketika ia berkata,
“Selamat,”
Aku tahu persis maksud ucapannya itu. Ia pikir, aku dan Mala sudah menjadi sepasang kekasih. Aku menengok ke tempat Mala berada, ia malah tertunduk. Aku tahu Mala merasa bersalah, tapi kenapa ia tak menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi? Aku masih tersenyum ketika Nima menangis tersedu tepat dimataku. Itu bukan senyum kemenangan, itu senyum miris.
Nima berlari menjauhi kami. Aku tak mampu meraihnya dengan hatiku. Aku memandang wajah Mala, lalu bertanya padanya.
“Kenapa kamu tak menjelaskan padanya apa yang sedang terjadi? Apa kau tak merasa bersalah sebagai temannya?”
“Aku memang merasa bersalah padanya, tapi aku tidak ingin kau malah menjauh dariku ketika aku menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi pada Nima. Aku sedang merasa pilu, kau tahu? Aku sangat membutuhkanmu saat ini,” jelasnya.
“Kau jahat, Mal! Kenapa kau bisa seegois itu?”
“Kenapa harus aku yang menjelaskan padanya? Kenapa bukan kamu saja?” tanyanya.
“Entah kenapa, jika aku berada didekatnya, selalu saja aku menjadi seorang yang penakut,”
***
Rasa bersalah masih saja terus melayang-layang bersama dengan khayalanku yang lain. Tapi kesadaranku kembali ketika Nima muncul didepanku. Tidak! Tidak muncul didepanku, ia muncul lalu melewatiku bagai dua orang asing yang tak pernah mengenal sebelumnya.
“Nimaaaa!” Mulutku spontan menyebut namanya.
Nima menoleh, mencari asal suara yang memanggilnya. Ia melihatku keberadaanku tapi tak segera menghampiriku. Ia terlihat sedang bersama orang lain. Wajahnya sangat berseri hari ini padahal beberapa hari yang lalu ia terlihat muram karena kejadian waktu itu. Tapi aku kupikir rasanya lebih lega melihat senyumnya tumbuh kembali daripada ia harus bersedu dan menjadikan aku menjadi tersangka tentang kesedihannya itu.
“Kamu mau kemana?” tanya Mala ketika aku melepas pelukannya dan mencoba pergi ke tempat Nima.
“Aku mau menghampiri Nima,” kataku sembari berlalu meninggalkannya.
Aku setengah berlari menghampiri Nima. Ketika tepat dihadapan Nima, ia dan juga teman lelakinya memberikan senyum yang tulus padaku. Aku jadi merasa benar-benar kikuk.
“Hallo, Nim. Aku pikir kamu masih bersedih,”
“Kenapa aku harus bersedih?” tanya Nima.
“Aku benar-benar merasa bersalah karena...” ucapanku terputus.
“Oh, untuk masalah itu, aku harap kita tidak mengingatnya lagi.”
“Kalau boleh tau siapa dia?” tanyaku sambil menunjuk keberadaan lelaki itu.
“Aku Virgo. Kekasih Nima,” Virgo buru-buru memperkenalkan diri.
“Nim? Apa benar dia pacarmu?” tanyaku.
Nima hanya mengangguk.
“Tapi bukankah kau bilang kalau kamu mencintaiku?”
“Maafkan aku. Hubunganku dengan dia ini benar-benar karena sebuah perasaan. Aku harap kamu tidak memikirkan kalau aku membalas dendam padamu. Tentu saja tidak,” jelas Nima.
“Tapi aku pikir....” kataku terbata.
“Oh untuk masalah itu, aku sudah menyadari bahwa kamu ternyata hanya obsesiku saja,”

Rabu, 25 Juni 2014

SEHARUSNYA DARI DULU



            Sayang sekali aku tidak bisa berbuat apa-apa saat melihat orang yang aku sayang memilih jalannya sendiri. Aku tak berkutik ketika melihat dirinya menggenggam tangan yang seharusnya tak digenggamnya. Aku bisa apa? Aku hanyalah orang asing yang jatuh cinta padanya dan tak memiliki hak untuk melarangnya apa-apa.
            “Selamat,” ucapku.
Yang dihadapanku hanya tersenyum, sedangkan kekasihnya yang tepat berada disampingnya hanya tertunduk. Entah apa yang dimaksudkannya, mungkin karena rasa bersalah atau rasa malu atau mungkin ia terlalu bodoh untuk mengetahui bagaimana caranya menegakkan kepala.
Aku menyeka air mata dan berjalan menjauhi tempat dimana rasa sakitku dimulai. Kesedihanku tidak sebanding dengan rasa geram yang dibuat oleh jalang itu. Aku bahkan merasa menjadi sesosok yang tidak tahu diri ketika banyak orang yang merangkulku tapi aku tetap saja tak mampu berdiri dengan bantuan mereka. Aku hanya tak bisa membuat semangat untuk diriku sendiri.
Seperti orang yang tak waras, aku berlari mencari seseorang yang aku butuhkan sekarang, dengan wajahku yang mirip monster akibat tangisan yang menjadi kumal dan mata yang membengkak. Kenapa ia tak ikut merangkulku seperti sahabatku yang lain?
Dari jauh, fisiknya sudah terlihat oleh pandanganku. Aku semakin mengencangkan lariku, hingga ia tepat didepanku. Aku menepuk pundaknya, ia menengok ke arahku. Melihat wajahnya aku tenang. Aku berlutut, lalu menangis.
“Dafa.........” kataku.
“Nim? Kamu kenapa?”
“Daf, aku butuh kamu.”
Aku menariknya hingga ia ikut berlutut didepanku. Spontan, aku memeluknya dan menumpahkan kesahku dipundaknya.
“Kenapa?” tanyanya.
“Jangan tanya kenapa. Aku tahu kalau kamu tahu, bodoh.”
Dafa mengangkat tubuhku lalu membuatku duduk di bangku panjang, disebelahnya. Tangisanku kali ini lebih kencang dibandingkan saat aku disakiti oleh Virgo.
“Apa semua ini tentang Virgo?”
“Itu kamu tahu. Terus, kenapa kamu tidak ada disampingku untuk sekedar menghibur?”
Pertanyaan itu tak dijawabnya langsung. Ada jeda diantara kami selama beberapa waktu. Aku mendengar desahan napasnya yang berat.
“Aku hanya lelah mendengarkanmu mengeluhkan Virgo terus menerus. Aku lelah mengetahui kamu yang terus disakiti tanpa kamu ingin berpaling darinya. Sementara...” ucapan Dafa terputus.
“Sementara apa?” tanyaku penasaran.
“Sementara kamu tidak mengerti kalau aku ikut sakit hati. Aku menjauh karena tidak ingin ikut-ikutan sakit hati juga. Aku suka bahkan jatuh cinta sama kamu, Nima. Aku menjauh darimu karena hanya ingin tahu, seberapa pentingnya aku dihidupmu.”
“Kalau begitu kamu berhasil,” ujarku.
“Berhasil?”
“Iya, kamu berhasil menyadarkanku betapa kamu begitu berharga. Kurasa, Virgo hanya obsesi belakaku.”

Rabu, 11 Juni 2014

Tak Ingin Memiliki Cerita (1)


Pelukannya semakin erat mengikat tubuhku. Aku mencengkeram seragamnya yang berwarna putih dan mengotorinya dengan air mataku yang tak henti mengalir. Ketika ia mencoba melonggarkan pelukannya, aku malah menariknya semakin dalam. Keadaan sekolah sudah sangat sepi. Matahari yang tadinya terik sudah mulai tak terasa.

“Kamu masih mau terus-terusan menangis kayak gini? Nggak bosan?” tanyanya.

“Kalau kamu capek jadi tempat tangisan aku, kamu boleh kok pulang. Aku nggak apa-apa disini,”

“Kamu selalu aja nangisin dia, Ra. Kalau aku capek, udah dari dulu aku ninggalin kamu sendirian,” ucap Regi.

“Tapi aku sakit hati, Gi. Kamu nggak tahu rasanya dikasih harapan terus dengan sengaja dia campakkin aku gitu aja,”

“Terus sekarang kamu jangan lagi harapin dia. Hanya lihat apa yang ada disekitarmu aja. Ayo, pulang!”

Regi menarik tubuhku secara paksa menuju motor kesayangannya. Ia mulai menyalakan motornya lalu melaju secepat yang ia bisa. Regi mengantarkanku pulang ke rumah.

                                                            ***

Ketika aku sudah turun, Regi memarkirkan motornya di tempat yang kosong. Dalam pandangan lurusku, aku melihat keberadaan Aldi. Spontan aku menundukkan kepalaku, berharap lelaki itu tak menyadari kehadiranku. Aku meraih lengan Regi dan mengaitkan tanganku padanya.

“Anggap kalau kita nggak lihat dia,” bisikku.

Kami berjalan menyusuri satu per satu kelas. Tapi usaha kami gagal, Aldi telah melihat kami. Akibatnya, ia jadi berteriak-teriak memanggil namaku. Meskipun Regi sudah mencoba menghentikan langkah, tapi aku tetap berusaha lebih keras lagi untuk membuatnya tak menoleh ke belakang sedikitpun.

“Fira...” suara Aldi terdengar lebih dekat.

Aku tak mampu mengelak ketika Aldi meraih pundakku dan membalikkan tubuhku dengan sekejap mata. Regi pun ikut berbalik.

“Mau kamu apa? Aku tahu aku yang terlalu berharap sama kamu. Tapi yaudahlah, anggap itu nggak pernah terjadi aja ya. Hehehe,” ungkapku.

“Aku berharap kamu nggak nganggep Nabel sebagai pacar aku. Nggak tahu kenapa, aku merasa kamu harus tahu hal itu,”

“Iya, aku nggak berpikiran gitu kok, tenang aja. Lagian aku siapa sih? Kita kan cuma teman. Aku ke kelas duluan ya!”

Aku menarik Regi untuk pergi menjauh dari lelaki itu. Berharap kalau aku mampu menahan tangis selama berada disekolah. Regi tak mengatakan apapun setelah tadi, ia hanya mengacak-acak rambutku. Kami langsung bergegas ke kelas untuk melanjutkan studi.

***

Orang-orang yang hilir mudik, satu per satu lenyap dari pandangan. Sekolah ini sudah mulai sepi. Aku memandangi kelas yang sudah sangat senyap. Aku  baru saja keluar pintu kelas ketika seseorang memanggil namaku. Orang itu adalah Aldi. Wajahku jadi tertekuk dibuatnya. Aldi menghampiriku tetapi aku malah berjalan ke arah yang berlawanan, dengan maksud untuk menghindar darinya. Tapi dengan cekatan, Aldi menarik tanganku dan menggenggamnya sekencang mungkin sampai aku pun tak bisa melepasnya.

Dibalik tubuh besar Aldi, aku melihat Regi sedang menatapi kelakuan Aldi. Regi menghampiriku, ia melepaskan genggaman tangan Aldi secara paksa. Hal itu membuat Aldi mendorong tubuh Regi hingga hampir terjatuh.

“Al, kamu kenapa? Kalau kamu mau ngomong, kenapa nggak langsung aja? Kenapa harus bikin masalah gini dulu, sih?”

Aldi tak menjawab pertanyaanku. Ia malah memaksaku untuk masuk ke kelas kembali. Ia menutup pintu kelas dan membuat Regi berdiri sendiri di luar kelas. Aku harap Regi tak meninggalkanku sendiri bersama dengan lelaki ini. Aku mulai takut jika lama-lama berhadapan dengannya.

“Kenapa kamu menjauh dariku?”

“Bukannya itu mau kamu? Apa kamu lupa? Hahaha,” kataku terkekeh.

“Kapan aku pernah bilang seperti itu?” tanya Aldi.

“Nggak! Nggak pernah. Aku suka sama kamu, Al. Aku cuma nggak mau tambah sakit hati kalau aku ngelihat kamu dekat sama orang lain,”

“Jadi kamu benar-benar suka denganku?”

“Memangnya kamu pikir bagaimana? Apakah dengan menjadi pendengar setiamu ketika kamu mendapat masalah adalah main-main bagimu? Aku harus menerima malu ketika aku harus menjelaskan perasaanku didepan semua orang dan sampai saat ini kamu hanya menganggap hal itu hanya bercandaan!”

“Ra, aku nggak pernah berpikir kayak gitu,”

“Aku hanya bisa diam ketika kamu sengaja memeluk Nabel didepan aku. Aku tahu kamu hanya bercanda. Tapi kenapa kamu lakuin hal itu padahal kamu tahu kalau aku suka sama kamu. Kenapa?!” jelasku.

“Fira...”

“Kamu juga pernah bilang ke aku buat move on, buat cari yang lain, tapi kamu juga membeberkan perasaan aku ke semua orang. Maksud kamu apa? Mau malu-ma..”
Tiba-tiba tangan Aldi membekap mulutku. Tangannya yang lain menghapus air mata yang tanpa aku sadari sudah membasahi wajahku. Matanya menatap mataku dan mengunci pandangan dengan mudahnya. Aku tak mampu berpaling ke arah mana pun.