Pelukannya
semakin erat mengikat tubuhku. Aku mencengkeram seragamnya yang berwarna putih
dan mengotorinya dengan air mataku yang tak henti mengalir. Ketika ia mencoba
melonggarkan pelukannya, aku malah menariknya semakin dalam. Keadaan sekolah
sudah sangat sepi. Matahari yang tadinya terik sudah mulai tak terasa.
“Kamu
masih mau terus-terusan menangis kayak gini? Nggak bosan?” tanyanya.
“Kalau
kamu capek jadi tempat tangisan aku, kamu boleh kok pulang. Aku nggak apa-apa
disini,”
“Kamu
selalu aja nangisin dia, Ra. Kalau aku capek, udah dari dulu aku ninggalin kamu
sendirian,” ucap Regi.
“Tapi
aku sakit hati, Gi. Kamu nggak tahu rasanya dikasih harapan terus dengan
sengaja dia campakkin aku gitu aja,”
“Terus
sekarang kamu jangan lagi harapin dia. Hanya lihat apa yang ada disekitarmu
aja. Ayo, pulang!”
Regi
menarik tubuhku secara paksa menuju motor kesayangannya. Ia mulai menyalakan
motornya lalu melaju secepat yang ia bisa. Regi mengantarkanku pulang ke rumah.
***
Ketika
aku sudah turun, Regi memarkirkan motornya di tempat yang kosong. Dalam
pandangan lurusku, aku melihat keberadaan Aldi. Spontan aku menundukkan
kepalaku, berharap lelaki itu tak menyadari kehadiranku. Aku meraih lengan
Regi dan mengaitkan tanganku padanya.
“Anggap
kalau kita nggak lihat dia,” bisikku.
Kami
berjalan menyusuri satu per satu kelas. Tapi usaha kami gagal, Aldi telah
melihat kami. Akibatnya, ia jadi berteriak-teriak memanggil namaku. Meskipun
Regi sudah mencoba menghentikan langkah, tapi aku tetap berusaha lebih keras
lagi untuk membuatnya tak menoleh ke belakang sedikitpun.
“Fira...”
suara Aldi terdengar lebih dekat.
Aku
tak mampu mengelak ketika Aldi meraih pundakku dan membalikkan tubuhku dengan
sekejap mata. Regi pun ikut berbalik.
“Mau
kamu apa? Aku tahu aku yang terlalu berharap sama kamu. Tapi yaudahlah, anggap
itu nggak pernah terjadi aja ya. Hehehe,” ungkapku.
“Aku
berharap kamu nggak nganggep Nabel sebagai pacar aku. Nggak tahu kenapa, aku
merasa kamu harus tahu hal itu,”
“Iya,
aku nggak berpikiran gitu kok, tenang aja. Lagian aku siapa sih? Kita kan cuma
teman. Aku ke kelas duluan ya!”
Aku
menarik Regi untuk pergi menjauh dari lelaki itu. Berharap kalau aku mampu
menahan tangis selama berada disekolah. Regi tak mengatakan apapun setelah
tadi, ia hanya mengacak-acak rambutku. Kami langsung bergegas ke kelas untuk
melanjutkan studi.
***
Orang-orang
yang hilir mudik, satu per satu lenyap dari pandangan. Sekolah ini sudah mulai
sepi. Aku memandangi kelas yang sudah sangat senyap. Aku baru saja keluar pintu kelas ketika seseorang
memanggil namaku. Orang itu adalah Aldi. Wajahku jadi tertekuk dibuatnya. Aldi
menghampiriku tetapi aku malah berjalan ke arah yang berlawanan, dengan maksud
untuk menghindar darinya. Tapi dengan cekatan, Aldi menarik tanganku dan
menggenggamnya sekencang mungkin sampai aku pun tak bisa melepasnya.
Dibalik
tubuh besar Aldi, aku melihat Regi sedang menatapi kelakuan Aldi. Regi
menghampiriku, ia melepaskan genggaman tangan Aldi secara paksa. Hal itu
membuat Aldi mendorong tubuh Regi hingga hampir terjatuh.
“Al,
kamu kenapa? Kalau kamu mau ngomong, kenapa nggak langsung aja? Kenapa harus
bikin masalah gini dulu, sih?”
Aldi
tak menjawab pertanyaanku. Ia malah memaksaku untuk masuk ke kelas kembali. Ia
menutup pintu kelas dan membuat Regi berdiri sendiri di luar kelas. Aku harap
Regi tak meninggalkanku sendiri bersama dengan lelaki ini. Aku mulai takut jika
lama-lama berhadapan dengannya.
“Kenapa
kamu menjauh dariku?”
“Bukannya
itu mau kamu? Apa kamu lupa? Hahaha,” kataku terkekeh.
“Kapan
aku pernah bilang seperti itu?” tanya Aldi.
“Nggak!
Nggak pernah. Aku suka sama kamu, Al. Aku cuma nggak mau tambah sakit hati
kalau aku ngelihat kamu dekat sama orang lain,”
“Jadi
kamu benar-benar suka denganku?”
“Memangnya
kamu pikir bagaimana? Apakah dengan menjadi pendengar setiamu ketika kamu
mendapat masalah adalah main-main bagimu? Aku harus menerima malu ketika aku
harus menjelaskan perasaanku didepan semua orang dan sampai saat ini kamu hanya
menganggap hal itu hanya bercandaan!”
“Ra,
aku nggak pernah berpikir kayak gitu,”
“Aku
hanya bisa diam ketika kamu sengaja memeluk Nabel didepan aku. Aku tahu kamu
hanya bercanda. Tapi kenapa kamu lakuin hal itu padahal kamu tahu kalau aku
suka sama kamu. Kenapa?!” jelasku.
“Fira...”
“Kamu
juga pernah bilang ke aku buat move on,
buat cari yang lain, tapi kamu juga membeberkan perasaan aku ke semua orang.
Maksud kamu apa? Mau malu-ma..”
Tiba-tiba
tangan Aldi membekap mulutku. Tangannya yang lain menghapus air mata yang tanpa
aku sadari sudah membasahi wajahku. Matanya menatap mataku dan mengunci
pandangan dengan mudahnya. Aku tak mampu berpaling ke arah mana pun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar