Rabu, 11 Juni 2014

Tak Ingin Memiliki Cerita (1)


Pelukannya semakin erat mengikat tubuhku. Aku mencengkeram seragamnya yang berwarna putih dan mengotorinya dengan air mataku yang tak henti mengalir. Ketika ia mencoba melonggarkan pelukannya, aku malah menariknya semakin dalam. Keadaan sekolah sudah sangat sepi. Matahari yang tadinya terik sudah mulai tak terasa.

“Kamu masih mau terus-terusan menangis kayak gini? Nggak bosan?” tanyanya.

“Kalau kamu capek jadi tempat tangisan aku, kamu boleh kok pulang. Aku nggak apa-apa disini,”

“Kamu selalu aja nangisin dia, Ra. Kalau aku capek, udah dari dulu aku ninggalin kamu sendirian,” ucap Regi.

“Tapi aku sakit hati, Gi. Kamu nggak tahu rasanya dikasih harapan terus dengan sengaja dia campakkin aku gitu aja,”

“Terus sekarang kamu jangan lagi harapin dia. Hanya lihat apa yang ada disekitarmu aja. Ayo, pulang!”

Regi menarik tubuhku secara paksa menuju motor kesayangannya. Ia mulai menyalakan motornya lalu melaju secepat yang ia bisa. Regi mengantarkanku pulang ke rumah.

                                                            ***

Ketika aku sudah turun, Regi memarkirkan motornya di tempat yang kosong. Dalam pandangan lurusku, aku melihat keberadaan Aldi. Spontan aku menundukkan kepalaku, berharap lelaki itu tak menyadari kehadiranku. Aku meraih lengan Regi dan mengaitkan tanganku padanya.

“Anggap kalau kita nggak lihat dia,” bisikku.

Kami berjalan menyusuri satu per satu kelas. Tapi usaha kami gagal, Aldi telah melihat kami. Akibatnya, ia jadi berteriak-teriak memanggil namaku. Meskipun Regi sudah mencoba menghentikan langkah, tapi aku tetap berusaha lebih keras lagi untuk membuatnya tak menoleh ke belakang sedikitpun.

“Fira...” suara Aldi terdengar lebih dekat.

Aku tak mampu mengelak ketika Aldi meraih pundakku dan membalikkan tubuhku dengan sekejap mata. Regi pun ikut berbalik.

“Mau kamu apa? Aku tahu aku yang terlalu berharap sama kamu. Tapi yaudahlah, anggap itu nggak pernah terjadi aja ya. Hehehe,” ungkapku.

“Aku berharap kamu nggak nganggep Nabel sebagai pacar aku. Nggak tahu kenapa, aku merasa kamu harus tahu hal itu,”

“Iya, aku nggak berpikiran gitu kok, tenang aja. Lagian aku siapa sih? Kita kan cuma teman. Aku ke kelas duluan ya!”

Aku menarik Regi untuk pergi menjauh dari lelaki itu. Berharap kalau aku mampu menahan tangis selama berada disekolah. Regi tak mengatakan apapun setelah tadi, ia hanya mengacak-acak rambutku. Kami langsung bergegas ke kelas untuk melanjutkan studi.

***

Orang-orang yang hilir mudik, satu per satu lenyap dari pandangan. Sekolah ini sudah mulai sepi. Aku memandangi kelas yang sudah sangat senyap. Aku  baru saja keluar pintu kelas ketika seseorang memanggil namaku. Orang itu adalah Aldi. Wajahku jadi tertekuk dibuatnya. Aldi menghampiriku tetapi aku malah berjalan ke arah yang berlawanan, dengan maksud untuk menghindar darinya. Tapi dengan cekatan, Aldi menarik tanganku dan menggenggamnya sekencang mungkin sampai aku pun tak bisa melepasnya.

Dibalik tubuh besar Aldi, aku melihat Regi sedang menatapi kelakuan Aldi. Regi menghampiriku, ia melepaskan genggaman tangan Aldi secara paksa. Hal itu membuat Aldi mendorong tubuh Regi hingga hampir terjatuh.

“Al, kamu kenapa? Kalau kamu mau ngomong, kenapa nggak langsung aja? Kenapa harus bikin masalah gini dulu, sih?”

Aldi tak menjawab pertanyaanku. Ia malah memaksaku untuk masuk ke kelas kembali. Ia menutup pintu kelas dan membuat Regi berdiri sendiri di luar kelas. Aku harap Regi tak meninggalkanku sendiri bersama dengan lelaki ini. Aku mulai takut jika lama-lama berhadapan dengannya.

“Kenapa kamu menjauh dariku?”

“Bukannya itu mau kamu? Apa kamu lupa? Hahaha,” kataku terkekeh.

“Kapan aku pernah bilang seperti itu?” tanya Aldi.

“Nggak! Nggak pernah. Aku suka sama kamu, Al. Aku cuma nggak mau tambah sakit hati kalau aku ngelihat kamu dekat sama orang lain,”

“Jadi kamu benar-benar suka denganku?”

“Memangnya kamu pikir bagaimana? Apakah dengan menjadi pendengar setiamu ketika kamu mendapat masalah adalah main-main bagimu? Aku harus menerima malu ketika aku harus menjelaskan perasaanku didepan semua orang dan sampai saat ini kamu hanya menganggap hal itu hanya bercandaan!”

“Ra, aku nggak pernah berpikir kayak gitu,”

“Aku hanya bisa diam ketika kamu sengaja memeluk Nabel didepan aku. Aku tahu kamu hanya bercanda. Tapi kenapa kamu lakuin hal itu padahal kamu tahu kalau aku suka sama kamu. Kenapa?!” jelasku.

“Fira...”

“Kamu juga pernah bilang ke aku buat move on, buat cari yang lain, tapi kamu juga membeberkan perasaan aku ke semua orang. Maksud kamu apa? Mau malu-ma..”
Tiba-tiba tangan Aldi membekap mulutku. Tangannya yang lain menghapus air mata yang tanpa aku sadari sudah membasahi wajahku. Matanya menatap mataku dan mengunci pandangan dengan mudahnya. Aku tak mampu berpaling ke arah mana pun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar