Ketika sebuah rasa dipisahkan oleh jarak, aku hanya bisa
tersenyum kecut. Seseorang yang seharusnya mampu ku perhatikan setiap hari, kini
ia pergi diusir waktu dan jarak. Bodohnya, ia tak mengelak. Dengan senang hati
ia pergi dari pandanganku.
Di sudut dunia baru yang kini kumiliki, aku hanya terpaku
dengan segala macam kebisuan. Semuanya baru, orang asing sepertiku ini hanya
membiarkan diri membusuk dimakan rindu. Yang sudah lepas tidak mungkin aku
kejar lagi. Hanya tangis yang aku andalkan untuk meminta belas kasihannya, tapi
hatinya terbuat dari besi. Tak sedikitpun ia peduli, bahkan untuk menoleh pun
ia segan.
Untuk segala macam hal, aku seperti orang bodoh karena terus
mematung, tak mencoba mencair diantara makhluk-makhluk dengan seringaian asing
itu. Membiarkan diri dirayapi kelu. Aku tak mempedulikan sekitarku, hanya
membuat segalanya berlalu tanpa kesan.
Ketika aku menunduk, sebuah uluran tangan menghampiri
keterasinganku. Merasa terusik, aku pergi dengan segala kesal. Rasanya aku
masih terlalu asik dengan bayangan dulu. Hatiku masih belum mau mengenal
siapapun.
Satu waktu, aku merasa sudah berada di titik jenuh, rasa
sepi perlahan datang. Lama-lama aku berpikir kalau aku pun butuh orang lain
untuk menjadi sandaran. Belum sempat aku meminta, seseorang itu muncul lagi
lalu menawarkan tangannya terlebih dahulu padaku. Saat aku hilang arah, dia
yang pertama menemukanku tersesat. Aku tersandung, ia yang pertama menangkapku
sebelum aku hilang kendali lalu terjatuh. Ia selalu datang lalu memohon agar
aku membutuhkannya.
Seakan
mengobati luka, orang yang tak pernah aku bayangkan akan hadir malah jelas-jelas
membuat aku lupa dengan sosok yang pernah mengelupas bahagiaku itu. Bagai pahlawan,
dia datang memberi senyum yang sempat ketinggalan di tempat yang dulu. Entah kenapa,
tawaku muncul lagi dengan segala usaha konyolnya itu. Gara-gara waktu, nyamanku
kini tergantung padanya.
Ia
membantuku mengenal orang-orang baru yang sebelumnya tak ingin aku kenal. Beruntungnya,
mereka tak seburuk yang kupikir. Rasanya berbeda, seperti telah bertahun-tahun
mengenal, semua ceritaku tumpah begitu saja dihadapan mereka.
Seperti akhir dari segala cerita, orang itu hilang. Aku keheranan
dengan cerita singkat yang diberikan orang baru itu. Kupikir, ia akan terus
menjadi obat lukaku. Tapi lama-lama, yang awalnya jadi obat justru
bertransformasi jadi penyakit.
Aku terus berusaha mencari alasan mengapa ia pergi
meninggalkan lubang besar di lubuk, tapi hasilnya nihil. Aku sadar, sepertinya
waktu memang sengaja mengusir orang-orang yang aku sayang. Sepertinya waktu
tidak ingin melihat aku tersenyum bersama orang-orang yang aku butuhkan.