Jumat, 19 September 2014

Tak Ingin Memiliki Cerita (2-END)



Sesaat kemudian, tangannya yang kokoh itu sudah melingkari tubuhku. Kini aku sedang berada dalam pelukannya. Aku tak bisa mengelaknya. Justru yang aku inginkan dari dulu memang seperti ini. Berada dipelukannya dan menangis sebanyak-banyaknya.
“Aku minta maaf buat hal-hal buruk yang menyakiti hati kamu. Mulai sekarang, aku nggak mau nyakitin kamu kayak gitu lagi. You’re mine, right now,” ungkap Aldi.
Aku tak menyangka ia akan berbicara seperti itu. Degub jantungku berpacu dua kali lipat dari biasanya. Aku mendongakkan kepalaku, seakan tak percaya dengan apa yang diucapkannya barusan.
“Aku nggak bercanda,” katanya memperjelas keadaan.
***
Aku tiba didepan rumahku setelah Aldi mengantarku pulang. Pandanganku teralih pada sebuah motor yang bertengger dirumah sebelah. Ternyata Regi sudah pulang dari tadi, pantas saja di cari disekolah ia tidak ada. Regi meninggalkanku berdua dengan Aldi disekolah. Betapa jahatnya dia.
Aku hanya menyimpan tasku di ruang tamu. Tanpa mengganti pakaian, aku pergi menuju rumah Regi. Seperti biasanya, aku sudah terbiasa masuk ke kamarnya meski tanpa minta izin pada mama Regi. Dimata mamanya, aku seperti anak perempuannya.
“Gi, kamu tega ninggalin aku gitu aja. Jahat,” kataku.
Regi mendongakkan kepalanya. “Bukannya kamu pulang bareng Aldi?”
“Iya, sih. Eh, tahu nggak? Aku udah jadian dong sama Aldi,” kataku sambil menyentuh rak buku Regi.
“Hahaha, iya udah tahu. Udah ketebak,” cetusnya lemas.
“Kamu kok kayak yang nggak semangat gitu? Nggak seneng ya, temen kamu udah jadian sama orang yang dicintainya, lho?”
“Aku seneng kok. Congratulation, ya, Fira,”
“Gitu dong,” kataku sambil berkacak pinggang.
“Tapi kalau aku suka sama kamu gimana, Ra?”
Deg! Aku kaget mendengar ucapan Regi.
“Kamu bercanda, kan?” tanyaku meminta kepastian.
Emosiku berubah seketika. Aku terdiam dan menatapnya beberapa waktu.
“Aku serius, Ra. Kalau aku suka sama kamu gimana, Ra?” Regi mengulangi pertanyaannya.
***
Aku menghindari Regi seharian ini. Disekolah aku sama sekali tak bercakap dengannya. Sebenarnya aku ingin menganggap bahwa tak terjadi apa-apa antara kami. Namun kecanggunganku membuat keadaan memburuk.
Kini aku menyesal ketika seseorang memberitahuku bahwa Regi mengalami kecelakaan sementara aku sedang senang-senang bersama Aldi. Ketika mendapat kabar buruk itu, aku bergegas menyuruh Aldi untuk mengantarku ke rumah sakit yang menangani Regi.
“Regi….,” Aku meraung-raung sepanjang perjalanan. Aldi dengan semaksimal mungkin menjalankan motornya tanpa menenangkanku sedikitpun. Aku melihat kekhawatiran diwajahnya.
Aku setengah berlari ketika melihat di ujung koridor berada kedua orang tua berjalan mondar-mandir di depan UGD. Aldi mengikutiku dari belakang.
“Gimana keadaan Regi, tante-om?” tanyaku.
Mereka hanya menggeleng-gelengkan kepala. Kakiku yang lemas membuatku tak mampu berdiri lagi hingga membuatku tersungkur ke lantai. Air mataku meleleh meski aku tak mengeluarkan suara rengekan.
Aldi menghampiriku kemudian membuatku berada dalam pelukannya. “Ayo makan dulu. Nanti kamu sakit,”
Aku melepas pelukannya lalu menatap lekat-lekat sepasang bola matanya. “Aku nggak mungkin bisa makan sementara Regi lagi bertaruh nyawa didalam sana,”
Aku melirik kedua orangtua Regi yang meminta izin padaku untuk pergi sebentar.
“Udah, Ra. Regi bakal baik-baik aja. Percaya sama keajaiban,” ucap Aldi menenangkan.
Aku menepis sentuhan tangannya di puncak kepalaku. “Ini semua karena aku. Karena hubungan kita. Kalau kita enggak jadian, pasti keadaannya gak akan kayak gini. Ini salah aku karena aku ngejauhin dia,”
“Kamu enggak salah, Fira. Semua ini udah diatur sama Tuhan. Jadi jangan nyalahin diri kamu sendiri,” bela Aldi.
“Regi suka sama aku. Kita enggak seharusnya jadian,”
“Jadi mau kamu kita putus?” tanya Aldi meminta penjelasan. Tapi aku tak menghiraukannya sedikitpun. Kebisuanku seolah menjawab pertanyaannya, ia berlalu meninggalkanku. Air mataku semakin deras.
***
Regi pergi ke tempat yang seharusnya ia berada. Tanpa rasa sakit, tanpa penderitaan. Aku sama sekali tak mengeluarkan air mata sepanjang perarakan pemakaman Regi. Hanya saja hatiku terasa acak-acakan, kenapa bisa secepat itu? Semudah itukah semua itu berlalu? Hidup ini terlalu lucu untuk aku tertawai.
Orang-orang satu per satu menaburkan bunga serta turut berbela sungkawa pada kedua orangtua Regi, sementara aku pergi ke tempat yang jauh dari keramaian orang-orang. Berharap aku mampu menenangkan diriku sendiri.
Tiba-tiba seseorang menyentuh pundakku dari belakang. “Jangan pernah menyesal sama keadaan yang sudah terjadi, Ra. Paling nggak kamu ada disamping dia, saat dia pergi. Aku yakin dia nggak akan menyesal udah pernah jatuh cinta sama kamu.”
Seperti ada ombak yang sedang berdesir dihatiku ketika aku melihat wajahnya. Sungguh aneh memang, Aldi selalu tahu dimana pun aku berada meskipun di sebuah tempat yang tersembunyi sekalipun. Aku melompat kedalam pelukannya dan menangis sekencang yang aku bisa.
“Maaf…” kataku padanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar