Sesaat
kemudian, tangannya yang kokoh itu sudah melingkari tubuhku. Kini aku sedang
berada dalam pelukannya. Aku tak bisa mengelaknya. Justru yang aku inginkan
dari dulu memang seperti ini. Berada dipelukannya dan menangis
sebanyak-banyaknya.
“Aku
minta maaf buat hal-hal buruk yang menyakiti hati kamu. Mulai sekarang, aku
nggak mau nyakitin kamu kayak gitu lagi. You’re
mine, right now,” ungkap Aldi.
Aku tak
menyangka ia akan berbicara seperti itu. Degub jantungku berpacu dua kali lipat
dari biasanya. Aku mendongakkan kepalaku, seakan tak
percaya dengan apa yang diucapkannya barusan.
“Aku nggak
bercanda,” katanya memperjelas keadaan.
***
Aku
tiba didepan rumahku setelah Aldi mengantarku pulang. Pandanganku teralih pada
sebuah motor yang bertengger dirumah sebelah. Ternyata Regi sudah pulang dari
tadi, pantas saja di cari disekolah ia tidak ada. Regi meninggalkanku berdua
dengan Aldi disekolah. Betapa jahatnya dia.
Aku
hanya menyimpan tasku di ruang tamu. Tanpa mengganti pakaian, aku pergi menuju
rumah Regi. Seperti biasanya, aku sudah terbiasa masuk ke kamarnya meski tanpa
minta izin pada mama Regi. Dimata mamanya, aku seperti anak perempuannya.
“Gi,
kamu tega ninggalin aku gitu aja. Jahat,” kataku.
Regi
mendongakkan kepalanya. “Bukannya kamu pulang bareng Aldi?”
“Iya,
sih. Eh, tahu nggak? Aku udah jadian dong sama Aldi,” kataku sambil menyentuh
rak buku Regi.
“Hahaha,
iya udah tahu. Udah ketebak,” cetusnya lemas.
“Kamu
kok kayak yang nggak semangat gitu? Nggak seneng ya, temen kamu udah jadian
sama orang yang dicintainya, lho?”
“Aku
seneng kok. Congratulation, ya,
Fira,”
“Gitu
dong,” kataku sambil berkacak pinggang.
“Tapi
kalau aku suka sama kamu gimana, Ra?”
Deg!
Aku kaget mendengar ucapan Regi.
“Kamu
bercanda, kan?” tanyaku meminta kepastian.
Emosiku
berubah seketika. Aku terdiam dan menatapnya beberapa waktu.
“Aku
serius, Ra. Kalau aku suka sama kamu gimana, Ra?” Regi mengulangi
pertanyaannya.
***
Aku menghindari
Regi seharian ini. Disekolah aku sama sekali tak bercakap dengannya. Sebenarnya
aku ingin menganggap bahwa tak terjadi apa-apa antara kami. Namun kecanggunganku
membuat keadaan memburuk.
Kini aku
menyesal ketika seseorang memberitahuku bahwa Regi mengalami kecelakaan
sementara aku sedang senang-senang bersama Aldi. Ketika mendapat kabar buruk
itu, aku bergegas menyuruh Aldi untuk mengantarku ke rumah sakit yang menangani
Regi.
“Regi….,” Aku
meraung-raung sepanjang perjalanan. Aldi dengan semaksimal mungkin menjalankan
motornya tanpa menenangkanku sedikitpun. Aku melihat kekhawatiran diwajahnya.
Aku setengah
berlari ketika melihat di ujung koridor berada kedua orang tua berjalan
mondar-mandir di depan UGD. Aldi mengikutiku dari belakang.
“Gimana
keadaan Regi, tante-om?” tanyaku.
Mereka hanya
menggeleng-gelengkan kepala. Kakiku yang lemas membuatku tak mampu berdiri lagi
hingga membuatku tersungkur ke lantai. Air mataku meleleh meski aku tak
mengeluarkan suara rengekan.
Aldi menghampiriku
kemudian membuatku berada dalam pelukannya. “Ayo makan dulu. Nanti kamu sakit,”
Aku melepas
pelukannya lalu menatap lekat-lekat sepasang bola matanya. “Aku nggak mungkin
bisa makan sementara Regi lagi bertaruh nyawa didalam sana,”
Aku melirik
kedua orangtua Regi yang meminta izin padaku untuk pergi sebentar.
“Udah,
Ra. Regi bakal baik-baik aja. Percaya sama keajaiban,” ucap Aldi menenangkan.
Aku
menepis sentuhan tangannya di puncak kepalaku. “Ini semua karena aku. Karena hubungan
kita. Kalau kita enggak jadian, pasti keadaannya gak akan kayak gini. Ini salah
aku karena aku ngejauhin dia,”
“Kamu
enggak salah, Fira. Semua ini udah diatur sama Tuhan. Jadi jangan nyalahin diri
kamu sendiri,” bela Aldi.
“Regi
suka sama aku. Kita enggak seharusnya jadian,”
“Jadi
mau kamu kita putus?” tanya Aldi meminta penjelasan. Tapi aku tak
menghiraukannya sedikitpun. Kebisuanku seolah menjawab pertanyaannya, ia
berlalu meninggalkanku. Air mataku semakin deras.
***
Regi
pergi ke tempat yang seharusnya ia berada. Tanpa rasa sakit, tanpa penderitaan.
Aku sama sekali tak mengeluarkan air mata sepanjang perarakan pemakaman Regi.
Hanya saja hatiku terasa acak-acakan, kenapa bisa secepat itu? Semudah itukah
semua itu berlalu? Hidup ini terlalu lucu untuk aku tertawai.
Orang-orang
satu per satu menaburkan bunga serta turut berbela sungkawa pada kedua orangtua
Regi, sementara aku pergi ke tempat yang jauh dari keramaian orang-orang.
Berharap aku mampu menenangkan diriku sendiri.
Tiba-tiba
seseorang menyentuh pundakku dari belakang. “Jangan pernah menyesal sama
keadaan yang sudah terjadi, Ra. Paling nggak kamu ada disamping dia, saat dia
pergi. Aku yakin dia nggak akan menyesal udah pernah jatuh cinta sama kamu.”
Seperti
ada ombak yang sedang berdesir dihatiku ketika aku melihat wajahnya. Sungguh aneh
memang, Aldi selalu tahu dimana pun aku berada meskipun di sebuah tempat yang
tersembunyi sekalipun. Aku melompat kedalam pelukannya dan menangis sekencang
yang aku bisa.
“Maaf…”
kataku padanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar