Sabtu, 24 Januari 2015

Ketika Diam Berarti Berharap



Aku memeluk sebuah novel yang cukup tebal, erat-erat. Semakin lama antrian itu semakin panjang, tapi aku bukan salah satu orang yang sedang mengantre. Aku terlalu takut untuk bertatap muka dengan si penulis idolaku, Yoga. Telapak tanganku mulai berkeringat. Kegugupanku sudah mencapai stadium tiga.
Melihat wajah Yoga yang tak banyak berubah, aku jadi teringat dengan beberapa tahun ke belakang dimana aku dan dia masih berada di bangku sekolah. Saat itu kami satu kelas selama dua tahun namun kami tak sedikit pun mengenal satu sama lain. Kami tak pernah saling ucap, saling sapa, bahkan saling berbicara. Waktu itu, aku hanyalah gadis pendiam yang tak memiliki banyak teman. Orang-orang bilang aku terlalu fokus belajar, hidupku terlalu lempeng untuk bisa dinikmati, tapi mereka tahu apa? Mereka hanya bisa menebak usil.
Ya seperti cerita cinta anak SMA lainnya, aku jatuh cinta pada yoga, si bintang kelas. Mirisnya, aku sama sekali tak bisa mendekatinya sama seperti teman perempuan sekelasku yang lain. Aku sama sekali tak mengharapkannya untuk jadi milikku, tapi aku hanya ingin berteman dekat, itu saja sudah cukup.
Mengingat masa sekolah dulu, memoriku pun kembali saat aku begitu rajin menuangkan beribu kesahku ke dalam puisi yang terpajang di majalah dinding sekolah. Setiap kali puisiku di pajang, selalu saja direndengkan dengan sebuah puisi yang sama sekali tak memiliki sebuah nama pemilik. Puisi misterius itu seperti sebuah jawaban dari kegelisahan puisiku. Selalu seperti itu. Aku tak tahu harus bertanya pada siapa. Hingga aku menempelkan sebuah note dan stiker di atas puisi misterius itu. Note dan stiker itu menghilang tapi aku tetap tak mendapat respon dari orang itu. Bahkan hingga sekarang pun aku belum mengetahuinya dan rasa penasaran itu tidak pernah hilang.
“Bintang!” Aku tersadar dari lamunanku ketika seseorang memanggil namaku.
“Kenapa belum mengantre? Kamu mau menunggu sampai kapan lagi?”
“Tapi aku takut, Pril,”
“Ayo! Ngapain harus takut? Nggak bosan bertahun-tahun mengagumi dari jauh aja?”
April menarik lenganku secara paksa hingga kami berada dalam barisan. Wajah khawatirku membuat April tersenyum puas. Hingga giliranku tiba, aku hanya bisa terpaku dengan novel yang masih berada dalam pelukan. April merampas novelku dan memberikannya pada Yoga.
Penulis itu memandangku. “Atas nama siapa?”
“Bi-Bintang,” kataku gagap.
Aku melihat sang penulis merogoh saku jaketnya dan mengeluarkan sesuatu yang lolos dari pandanganku. Aku penasaran dengan apa yang diselipkan Yoga ke dalam novelku. Tapi penasaran itu aku coba tahan.
“Terimakasih, ya, Bintang,” katanya.
Aku tersenyum canggung dan berlalu. Sesegera mungkin kami menjauh dari pandangan Yoga dan melihat apa yang tadi diselipkannya di dalam novel.
“Ng….” Aku membisu, tak mampu mengucapkan sepatah kata pun ketika melihat sebuah note dan stiker yang dulu aku berikan pada penulis misterius itu, malah kembali lagi padaku. Masih ada lagi! Ada sebuah tulisan di halaman pertama novel itu,
Hai, aku merindukanmu. Satu-satunya penggemar beratmu.’ Dibawah tulisan itu tertambat tanda tangan Yoga.

1 komentar:

  1. Bagus banget sist, cerpennya! Ditunggu yaa lanjutan kisahnya. Happy blogging ^^

    BalasHapus