Entah
kenapa hampir tiap malam dia seakan menyuruhku untuk tetap terjaga, bahkan
untuk semenit pun dengan kejamnya ia tak membiarkanku beristirahat. Aku
terengah-engah karena dipaksanya terus memainkan memoriku, kenangan yang pernah
terekam saat bersamanya.
Rindu
menyelinap setiap detik, tapi tak satu Ceitapun upaya yang bisa kulakukan. Hanya
duduk memangku dagu dan berdoa dengan lantang kepada Tuhan, mengharapkan ia pun
turut rindu.
“Tuhan, aku
harus bagaimana disaat aku benar-benar sekarat menginginkan kehadirannya,”
Beribu
kalimat yang sulit untuk kutumpahkan, perasaan kesal bahkan rasa seduku yang
bahkan kupikir orang lain pun takkan bisa untuk mengejanya, ternyata hanya
dibungkus sempurna dengan sebuah kata sederhana, yaitu rindu.
Dia.
Dengan sengaja Tuhan memberikannya padaku sebagai penawar racun. Menjadi obat
terajaib ketika tak ada satu pun manusia yang mampu menyembuhkannya. Tapi
logikaku semakin tak selaras, saat ia malah menjadi candu bagiku. Aku terlalu
berlebihan mengkonsumsi kehadirannya.
Saat
ini, jarak sedang membantuku untuk menghilangkan candu itu. Bukannya membaik,
aku malah merasa napasku tak berjalan sebaik biasanya. Tanganku terlipat,
kepalaku menengadah.
“Tuhan,
tolong……. Ini bukan candu. Aku butuh kehadirannya sekarang juga, dia masih
tetap obat terajaibku. Aku sakit, aku butuh obatku,”
Disudut ruang dengan rasa rindu
teramat sangat,
Kamis, 28 Mei 2015 pukul 02.34
Beryl Kathryn.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar