Sabtu, 26 Juli 2014

Kalut Pemberian Lika



Aku menarik napas panjang saat membaca pesan dari Vero yang mengungkapkan perasaannya padaku. Ia bukanlah wanita pertama yang berani meminta aku untuk jadi pasangannya. Namun kali ini berebda ketika sahabatku sendiri yang meminta hal itu. ***

Hari ini Vero sudah sah menjadi kekasihku. Sebagai kewajiban, aku menjemputnya ke rumah dan pergi ke sekolah bersama. Merasa ada pemandangan baru, orang-orang langsung menyerbu tanya padaku. Aku melihat gelagat bahagia dalam diri Vero ketika menjawab pertanyaan teman-temannya. Tapi, entahlah, aku merasa janggal berada dalam ikatan ini dengan Vero.

“Cie, lo baru jadian? Pajaknya kali, Di,” kata seorang gadis menghampiriku begitu aku duduk dikursiku. Aku menghela napas.

Andai aja yang jadian itu kita. “Pajak apaan, sih?” kataku lalu melengos pergi meninggalkannya.

“Kok, malah bete? Cerita dong gimana kalian jadian?” ucap Lika sambil memeluk pundakku ketika sudah menyamai langkahnya denganku.

Aku duduk dikursi panjang tepat didepan kelas, Lika pun ikut melakukan ha yang sama. “Dia nembak gue, ya, gue terima,”

“Tapi lo  ada perasaan kan sama dia?”

Aku menggelengkan kepalaku. Sudah lama aku memendam perasaanku pada Lika. Semuanya tumbuh ketika kedekatan kami semakin erat.

“Hebat, ya, cewek berani nembak cowo. Gue juga mau nyatain perasaan gue deh,” ungkap Lika.

“Ngungkapin perasaan lo? Ke siapa?” tanyaku bingung.

“Ada deh! Emansipasi baru dimulai namanya,”

Aku memalingkan tubuh ke arah lain dengan wajah tertekuk. “Padahal gue sukanya sama lo,”

Kening Lika berkerut. Karena tak begitu jelas mendengar ucapanku, ia mengguncang-guncang tubuhku meminta agar aku mengulangi perkataanku yang barusan. “Apa? Adi, tadi lo ngomong apa?”

“Gue suka sama lo,” celetukku.

Lika tertawa terbahak. “Tapi lo, kan, udah punya pacar. Gue juga mau punya pacar juga kali,”

“Lo nggak boleh pacaran sama orang lain, selain gue,”

“Jadi ceritanya gue harus nungguin lo?”

Melihat aku yang diam seribu bahasa, ia melanjutkan ucapannya. “Tadi, sih, gue niatnya mau nembak cowo yang namanya Adi, eh, dianya malah ngungkapin duluan pakai acara posesif segala lagi hahaha,” ***

“Lo jangan nunjukkin ke orang kalau lo suka sama gue. Lo, kan, lagi pacaran sama Vera! Gue jadi kelihatan murah di depan orang lain,” ketus Lika.

Kedua alisku bertautan. “Gue minta maaf. Gue pikir dengan cara kayak gitu, aku sama Vera bisa putus”

“Rencana lo jahat banget, Di. Udah deh jalanin aja sampai dia mutusin hubungan kalian dengan sendirinya. Jangan sakitin dia, nanti kamu malah dapat balasannya. Lagipula, aku enggak terobsesi untuk jadi pacar kamu,”

Ponselku bergetar dan segera aku cari tahu penyebabnya. “Lik, gue jenguk Vera dulu. Katanya dia sakit,”

Ia hanya mengangguk sebagai jawaban. Tanpa ini-itu, aku bergegas pergi ke rumah Vera.
Di tempat itu, Vera bergelayut manja dilenganku. Meski merasa risih, aku tak tega melepaskannya. Aku melihat jam yang melingkar ditanganku. Tepat jam enam sore ketika kudapati layar ponselku menunjukkan nama Lika sedan menghubungiku.

“Halo,” jawabku. Manusia di ujung telepon sana tak menggubris ucapanku. Yang terdengar hanyalah suara gesekan benda dan ingar-bingar orang asing. Tut... Tut... Panggilannya di putus. Tapi tak lama, ponselnya kembali berdering dengan penelepon yang sama. Lika.

“Halo, mas? Temannya kecelakaan disini. Tolong cepat kesini,”

Ponselku terjatuh saat mendengar berita tersebut. Aku baru saja beranjak ketika Vera menahan kepergianku. “Jangan pergi,”

“Tapi teman gue kecelakaan!”

Wajah Vera memelas. “Aku ikut,” ***

Aku mondar-mandir didepan ruang UGD. Sambil meremas-remas tangan, pikiranku berseliweran tentang hal yang buruk.

“Adi, aku lapar. Makan, yuk!”

“Aku ngantuk. Pulang aja, yuk”

Vera bersungut-sungut di kursi rumah sakit. Aku jengah mendengarnya. “Kalau mau pulang, sana pergi sendiri! Kenapa tadi ikut-ikutan kesini?” bentakku.

“Adi, kenapa kamu berbeda? Jahat banget, tau nggak!”

“Gue mau putus dari lo,” ucapku sekenanya.

“Kenapa tiba-tiba? Nggak ada angin, nggak ada apa-apa,”

“Kalau bukan karena teman gue, udah dari dulu gue mutusin lo,”

Sejenak ia menatap wajahku lalu kemudian pergi tanpa pamit. Ia tak enak hati telah membentaknya tadi.

“Di, gue butuh lo,” kata Lika setengah sadar.

“Gue ada disini. Lo tenang aja,” ***

Air mataku tak kunjung reda ketika menatap nisan didepanku yang bertuliskan nama Lika Asra. Ia merenggang nyawa tepat dihadapanku. Tepat pada hari saat ia kecelakaan, Lika langsung menghadap sang khalik.

Masih terngiang ditelinganya ucapan Lika sebelum pergi. “Adi, gue sayang sama lo. Tapi gue nggak mau lo nyakitin Vera. Dia adik kandung gue. Jagain dia dan jadi orang yang terbaik buat dia. Maaf gue nggak cerita semuanya dari awal.”

Aku melihat mata Vera membengkak karena menangis. Merasa terikat dengan janji, aku akan melakukan apa yang diminta Lika, walaupun aku masih bingung dengan misteri dibalik kisah Lika. Aku pun iba karena pada saat Vera berada di rumah sakit, ia tak benar-benar tahu kalau ternyata kakaknya-lah yang kecelakaan.

Aku berjalan menghampiri Vera yang jongkok disisi lain makam Lika. Tanganku melingkari pundaknya. “Maafin gue, Vera.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar