Sepasang roda besar menggesek bumi ketika tepat mendarat
dalam rute yang seharusnya. Pandu tetap duduk di kursi sebelum pesawat tersebut
total berhenti. Kepalanya masih dihinggapi jet
lag. Tubuhnya bertubrukan dengan penumpang lain yang buru-buru pergi ke conveyor belt, sama seperti yang
lainnya, ia juga mengantre untuk mengambil barang-barangnya dibagasi.
Ia
berangkat keluar dari bandara. Matanya celingukan ke seluruh penjuru. Seseorang
yang diharapkannya untuk datang tidak terlihat dari pandangannya.
“Pandu!!!”
teriak seseorang sambil melambaikan papan yang tertera namanya dengan spidol
warna-warni. Pandu menghampirinya.
“Hai,
Lika! Key dimana?” tanya Pandu.
Lika
mendengus. “Aku yang datang menjemputmu tapi kenapa kau menanyakan orang lain?”
Pandu
melepas genggaman tangan Lika dan pergi berkeliling tanpa menghiraukan
panggilan Lika. Ia heran kenapa Key tak menunggunya di airport seperti yang
dilakukan Lika.
“Kenapa
kau mengabaikanku? Aku yang menunggu tiga tahun ini. Dan apa balasanmu? Kau malah
mengacuhkanku!” sentak Lika ketika ia telah menyamai langkahnya dengan Pandu.
“Kau
dapat melihat buktinya, Key sama sekali tak datang! Ia tak merindukanmu!”
lanjut Lika.
Pandu
merasa jengah menghadapinya. “Cukup! Apa kau tahu sesuatu tentang Key?”
“Semenjak
kau pergi, aku sama sekali tak mendapat kabar tentangnya,” jawab Lika.
***
Pandu
tetap tak menemukan kabar tentang Key setelah berhari-hari ia mencari tahu ke seluruh
orang yang berhubungan dengan Key. Ia menyandarkan tubuhnya ke sebuah kursi
yang berada diterasnya. Kemana lagi ia harus pergi mencari Key? Bahkan rumah
Key sudah tak berpenghuni.
Tiba-tiba
pikirannya melayang, ia bingung karena Lika yang sudah tak mengganggunya hari
ini. Padahal dari kemarin gadis itu selalu mengganggu kehidupannya. Lika terus
menerus mencari perhatian pada Pandu. Ia menepuk jidatnya. Kenapa Lika harus
menyatakan cinta padanya dan menambah rumit hidupnya? Ia merasa bersalah karena
tak bisa membalas perasaan Lika, hatinya masih tertambat pada Key.
Ia
baru saja beberapa hari di Indonesia setelah tiga tahun ke belakang ia kuliah
di Belanda. Tapi hari liburnya malah tersita untuk mencari Key. Ia merasa sepi
karena Lika tak memekakan telinganya lagi. Ia merasa butuh seseorang untuk
membantunya mencari Key. Tapi kemarin ia tak sengaja membentak Lika karena rasa
jengahnya sudah mencapai puncak. Ia membuat Lika menangis. Ia merasa bersalah.
Baru
saja ia menutup matanya ketika seseorang meneriaki namanya. “Pandu!!!”
Ia
menoleh dan melihat Lika menghampirinya. Ia mendesah.
“Kau
harus ikut aku,” seru Lika kemudian menarik lengan Pandu.
Mereka
tiba di sebuah pemakaman umum. Pandu hanya mengikuti Lika dari belakang hingga
sampai ke sebuah makam yang bertuliskan nama ‘Key Pangestu’. Pandu kaget melihat
apa yang ada dihadapannya. Ia tak mampu mengucapkan apapun.
“Aku
mencari tahu keberadaan Key dengan menanyakannya pada paman Key yang kebetulan
adalah teman baik ayahku. Ia bilang kalau Key mengidap kanker otak. Key tak
memberitahukanmu karena ia tak mau mengkhawatirkannya, agar kau tetap
melanjutkan studimu,” jelas Lika.
“Pantas
saja ia begitu rela ketika aku pergi, ternyata ia tak ingin membuatku terbebani
karena penyakitnya. Tapi tetap saja aku merasa bersalah karena ia harus meregang
nyawa tanpa aku ada disisinya,” Airmata lelaki itu menitik.
Lika
pergi meninggalkan Pandu karena tak ingin mengganggunya lagi. Tapi Pandu
menahannya. “Kau mau pergi kemana? Saat ini aku membutuhkanmu,”
Lika
terkejut karena Pandu yang tiba-tiba memeluknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar