Aku membuka mata lalu terdiam
sejenak. Selanjutnya, menangis dalam kesendirian. Aku sengaja tak memberikan
suara raungan dalam sedih ini, aku tahu kalau seseorang mengintai ragaku.
“Ba, lo nangis lagi? Udahan dong,
ba, sedihnya.”
Benar saja, orang yang tadi
mengintip dari pintu kamarku yang setengah terbuka tadi masuk ke kamar dengan
santai sambil mencoba menghiburku. Aku melirik keberadaannya lewat sudut
mataku, ia sudah berbaring di kasur.
“Lo nggak pernah ngerasain
kangen sama orang? Sakit tahu rasanya!” ucapku membentak.
“Gue sering kok kangen kaya kamu
gini. Tapi kamu harus bisa lebih kuat.”
“Jangan sok ngajarin gue. Lo
nggak pernah, kan, kangen sama orang yang sudah meninggal?”
“Gue emang nggak pernah
ngerasain, tapi bukan berarti kamu jadi melankolis kaya gini.” Kata Winda.
“Tutup mulut lo deh. Jangan pura-pura
peduli sama gue! Lo penyebab semua ini tahu.” Emosiku memuncak.
Pandangan gadis itu melayang,
sementara waktu ia membisu, hanya meneliti setiap senti sosokku yang amburadul.
Mulutku setengah terbuka ketika Winda melenggang pergi dan menghentakkan pintu
kencang-kencang. Sebelumnya ia berkata; “Diba, semua ini bukan seperti yang lo
kira.”
Air mengucur deras dari pelupuk.
Badanku bergoncang karena menahan rengekan.
Waktu itu, beberapa bulan yang
lalu, Dio meninggal karena kecelakaan mobil. Aku bersamanya saat itu. Di dalam
mobil, kami beradu mulut hebat. Dio tidak fokus mengendarai mobilnya karena
teriakanku yang memekakan telinganya. Hingga akhirnya di sebuah perempatan
jalan, Dio tak melihat lampu lalu lintas, mobilnya tertabrak oleh truk yang
ingin melintas berlainan arah dengan mobil kami saat itu. Dio menjadi korban
jiwa, sedangkan aku hanya luka ringan di daerah kepala.
Aku benci. Sangat benci. Hal ini
terjadi karena semua penyebab itu adalah karena Winda. Ia
terlalu murah,
bisa-bisanya ia mendekati Dio yang jelas-jelas sudah jadi milikku. Waktu itu
Winda dan Dio sama-sama mengelak, menurut mereka, mereka hanya dekat sebagai
teman saja. Tapi mata kepalaku berkata lain. “Ba, gue cuma curhat doang kok ke
cowok lo.” Kata Winda. “Kalau cemburu, bukan gini caranya. Berpikir jernih dulu
dong” sanggah Dio.
Kalau kenyataannya ternyata
benar seperti apa yang di katakan mereka, berarti aku yang salah karena sudah
berpikiran buruk pada Dio. Tapi semua sudah terlanjur menjadi bubur. Menurutku,
Winda yang masih harus dipersalahkan dalam keadaan ini. Dia penyebab semuanya. Saat
itu, kan, aku tidak tahu apa-apa. Hanya “menyangka” hubungan mereka saja. Kalau
saja Winda menceritakannya secara rinci pasti tidak begini keadaannya. Ah! Persetan.
Seperti itulah ceritanya, kurasa.
Aku mengumpulkan barang-barang
yang membuatku mengenang segala hal tentang Dio. Yang membuatku selalu
merindukannya. Aku mengumpulkannya dalam sebuah plastik besar. Aku beranjak
pergi menuju lantai paling atas.
Aku menarik napas panjang ketika
angin menerpa wajahku ringan. Kedua tanganku memeluk plastik tadi. Satu per satu
kakiku melangkah menuju pagar yang membatasi wilayah tempat jemuran di lantai
tiga. Aku menaiki pagar itu, berdiri di atasnya. Aku menyeringai. Tersenyum. Lalu
melompat.
“Aaaaaaaaah.......”
***
“Astaga apa itu?” tanya Winda. Buru-buru
ia berlari keluar, mencari tahu apa yang terjadi.
Langkahnya berhenti seketika,
saat melihat raga Diba terkujur kaku di tanah. Mulut dan kepalanya
mengekskresikan darah. Winda menatap ngeri. Tapi pandangannya teralih pada
secarik kertas yang menyelip di tangan Diba. Winda mengambilnya dan membaca
tulisan yang tertera disitu.
"Aku kangen banget
sama Dio. Aku nyusul dia dulu ya."
Air mata Winda menitik. Andai waktu
itu Diba tahu segalanya.
“Semuanya nggak kaya yang lo
kira, Ba.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar