Jumat, 04 Oktober 2013

kecelakaan



                Aku membuka mata lalu terdiam sejenak. Selanjutnya, menangis dalam kesendirian. Aku sengaja tak memberikan suara raungan dalam sedih ini, aku tahu kalau seseorang mengintai ragaku.
                “Ba, lo nangis lagi? Udahan dong, ba, sedihnya.”
                Benar saja, orang yang tadi mengintip dari pintu kamarku yang setengah terbuka tadi masuk ke kamar dengan santai sambil mencoba menghiburku. Aku melirik keberadaannya lewat sudut mataku, ia sudah berbaring di kasur.
                “Lo nggak pernah ngerasain kangen sama orang? Sakit tahu rasanya!” ucapku membentak.
                “Gue sering kok kangen kaya kamu gini. Tapi kamu harus bisa lebih kuat.”
                “Jangan sok ngajarin gue. Lo nggak pernah, kan, kangen sama orang yang sudah meninggal?”
                “Gue emang nggak pernah ngerasain, tapi bukan berarti kamu jadi melankolis kaya gini.” Kata Winda.
                “Tutup mulut lo deh. Jangan pura-pura peduli sama gue! Lo penyebab semua ini tahu.” Emosiku memuncak.
                Pandangan gadis itu melayang, sementara waktu ia membisu, hanya meneliti setiap senti sosokku yang amburadul. Mulutku setengah terbuka ketika Winda melenggang pergi dan menghentakkan pintu kencang-kencang. Sebelumnya ia berkata; “Diba, semua ini bukan seperti yang lo kira.”
                Air mengucur deras dari pelupuk. Badanku bergoncang karena menahan rengekan.
                Waktu itu, beberapa bulan yang lalu, Dio meninggal karena kecelakaan mobil. Aku bersamanya saat itu. Di dalam mobil, kami beradu mulut hebat. Dio tidak fokus mengendarai mobilnya karena teriakanku yang memekakan telinganya. Hingga akhirnya di sebuah perempatan jalan, Dio tak melihat lampu lalu lintas, mobilnya tertabrak oleh truk yang ingin melintas berlainan arah dengan mobil kami saat itu. Dio menjadi korban jiwa, sedangkan aku hanya luka ringan di daerah kepala.
                Aku benci. Sangat benci. Hal ini terjadi karena semua penyebab itu adalah karena Winda. Ia
terlalu murah, bisa-bisanya ia mendekati Dio yang jelas-jelas sudah jadi milikku. Waktu itu Winda dan Dio sama-sama mengelak, menurut mereka, mereka hanya dekat sebagai teman saja. Tapi mata kepalaku berkata lain. “Ba, gue cuma curhat doang kok ke cowok lo.” Kata Winda. “Kalau cemburu, bukan gini caranya. Berpikir jernih dulu dong” sanggah Dio.
                Kalau kenyataannya ternyata benar seperti apa yang di katakan mereka, berarti aku yang salah karena sudah berpikiran buruk pada Dio. Tapi semua sudah terlanjur menjadi bubur. Menurutku, Winda yang masih harus dipersalahkan dalam keadaan ini. Dia penyebab semuanya. Saat itu, kan, aku tidak tahu apa-apa. Hanya “menyangka” hubungan mereka saja. Kalau saja Winda menceritakannya secara rinci pasti tidak begini keadaannya. Ah! Persetan. Seperti itulah ceritanya, kurasa.
                Aku mengumpulkan barang-barang yang membuatku mengenang segala hal tentang Dio. Yang membuatku selalu merindukannya. Aku mengumpulkannya dalam sebuah plastik besar. Aku beranjak pergi menuju lantai paling atas.
                Aku menarik napas panjang ketika angin menerpa wajahku ringan. Kedua tanganku memeluk plastik tadi. Satu per satu kakiku melangkah menuju pagar yang membatasi wilayah tempat jemuran di lantai tiga. Aku menaiki pagar itu, berdiri di atasnya. Aku menyeringai. Tersenyum. Lalu melompat.
                “Aaaaaaaaah.......”
***
                “Astaga apa itu?” tanya Winda. Buru-buru ia berlari keluar, mencari tahu apa yang terjadi.
                Langkahnya berhenti seketika, saat melihat raga Diba terkujur kaku di tanah. Mulut dan kepalanya mengekskresikan darah. Winda menatap ngeri. Tapi pandangannya teralih pada secarik kertas yang menyelip di tangan Diba. Winda mengambilnya dan membaca tulisan yang tertera disitu.
               "Aku kangen banget sama Dio. Aku nyusul dia dulu ya."
                Air mata Winda menitik. Andai waktu itu Diba tahu segalanya.
                “Semuanya nggak kaya yang lo kira, Ba.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar