Minggu, 19 Mei 2013

CERMIN DIRI


“aku benar-benar kecewa soal itu.. Percuma mulutku berbui sampai robek. Kau takkan pernah paham maksudku. Dan jika kalturalis masih mengikat kuat didalam pikiranmu, sampai mampus pun kau takkan bisa terima aku.” -Kahlil Gibran-

            Menuntaskan rindu hingga hampir benar-benar  hilang tak akan pernah terjadi meskipun aku telah bertemu dengan wujudmu. Aku sesak menahan rindu yang mencekik. Rasa rindu ini takkan mungkin hilang jika tak bisa memecah lewat kata-kata untuk bisa aku perdengarkan padamu. Aku bukanlah ‘si pengecut’ yang takut untuk jujur. Tapi lihat, sebuah kata EGO masih tertulis tebal dijidatmu.
Kamu tak akan pernah peka meskipun aku bertingkah seperti orang gila dan berteriak memekakan telingamu. Banyak hal yang terus kamu permasalahkan. Kamu secara tidak langsung membunuh hati ini perlahan-lahan. Bermain saja, kau, hei gadis terindah, dengan duniamu sendiri. Sejujurnya, apa yang kamu pikirkan saat kamu sibuk dengan hal-hal yang tidak jelas itu?
            Tanganmu dingin. Apa kamu lelah dengan keadaan yang kamu rasakan saat ini? Justru aku yang paling lelah dalam posisi ini. Kamu tak tahu, meskipun kamu terkujur kaku di kasur tipis ini, tapi debaran jantungku masih tak bisa aku kendalikan. Benarkan? Diposisi ini aku yang paling menderita. Aku terus berulang kali menyatakan cinta, membisikkan rindu, menghangatkan tanganmu, menghabiskan waktu, hanya untuk kamu yang cuma bisa diam, tertidur pulas.
            Aku ingin terus mempertanyakan keadaan ini. Kenapa aku mendapatkan cinta yang menyakiti hati sedangkan di sudut lain berjuta pasangan merasakan cinta yang mengindahkan dunia mereka. Aku tak tahu seberapa kuatnya buih bidsamu yang kau campurkan ke dalam rongga dadaku sehingga bisa sampai-sampai membuat air mataku terurai.
            Aku bukanlah dokter yang paham bagaimana sebetulnya cara kerja penyakitmu yang merobohkan kesehatanmu. Aku bukan pula Tuhan yang mampu hanya dengan kedipan mata bisa menghilangkan luka dijiwamu dan membangunkanmu dari tidur panjang.
            Siapa yang menyangka, ternyata didalam pulasnya tidurmu, aku tak tahu bahwa didalam bait-bait mimpimu, kau sedang beradu sengit dengan ‘sang malaikat pencabut nyawa’. Maaf aku terlalu egois untuk tahu bahwa kau ternyata mencari sebuah kesepakatan dari beberapa pilihan yang telah ditawarkannya. Tapi kenapa kamu memilih terbang ke langit yang tinggi disana ketimbang memilih bertahan hidup dengan mahkluk keji ini? Aku? Apa kau sudah lelah dengan kefanaan dunia ini? Jujur, aku masih belum mampu mendapat cerita separah ini. Aku masih belum siap berjalan tanpa kau ikuti.
            Biarkan aku membungkukkan tubuh, biarkan aku mencondongkan raga ini pada dirimu. Ikhlaskanlah aku mengecup lembut bibir merahmu sebagai perpisahan sebelum akhirnya nanti objek itu akan membiru. Biarkan aku mendapatkan waktu, menempelkan bibir yang bergetar ini untuk mencari arti bahagia dalam kesedihan. Biarkan aku merutuki diriku sendiri karena menganggapmu egois.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar