beryl :) |
Para pejalan kaki yang
berseliweran melihat penasaran ke arah kita, kamu dan aku. Taman yang saat itu
ramai dipenuhi oleh manusia yang berlalu lalang. Sontak semua perdebatan yang
sengit sejak tadi, menguap tak menyisakan jejak. Membuat kamu dan aku saling
bermain dalam pikiran masing-masing, membiarkan matahari membakar pasif
ubun-ubun kita.
Dada bidangmu seolah
memaksaku untuk memelukmu, rambut cepakmu membuatku merindukan halusnya
helai-helai disaat dulu aku pernah mengelusnya, dan hampir membuatku terlupa
pada keadaan saat ini.
“Aku
menyayangimu.”
“Tapi
aku sadar perasaan ini tak lebih dari sekedar teman.”
“Apa
kamu lupa, yang kita jalin saat ini bukan sekedar persahabatan.”
“Kalau aku tahu dia,
aku akan mencoba mengerti.”
“Aku memiliki alasan
untuk tidak memberitahukannya. Dia terlalu menanti dan mengharapkan
kehadiranku”
“Aku tahu kamu masih
mencintaiku. Dan aku akan lebih setia menantimu hingga akhirnya kamu selesai
dengan orang itu.”
Semua memang diluar
batas logika. Aku mengusap asal air mata yang mencair lewat sudut mataku. Ada
seseorang yang lebih mencintaiku dari empat tahun terakhir, jauh sebelum aku
mengenalmu. Aku merasa bodoh karena baru menyadari semuanya, dia sahabatku. Aku
memang tak merasakan perasaan yang berbeda, tapi aku pasti memiliki rasa itu
meskipun hanya secuil.
Dia sudah berusaha dari
awal memperjuangkan cintanya dan membulatkan kesetiaannya. Kenapa tidak untuk
memperjuangkan perasaannya untuk membahagiakannya. Aku akan berusaha
membalasnya. Aku akan berusaha mencetak senyum dibibirnya oleh diriku, seorang
gadis bodoh yang tak menyadari perasaan sahabatku sendiri.
“Aku
menyayangimu…”
Aku mengecup pipi si
pemilik rambut indah ‘nan panjang yang sedang terkujur kaku diatas kasur tipis
yang dililiti sejumlah selang ditubuhnya. Sekuat tenaga aku mempertahankan air
mata yang terbendung di pelupuk mata.
wajah yang sangat cantik dan nyaris sempurna, jika dilihat dari cekungan
wajahnya. Aku tak akan meninggalkannya dalam keadaan yang seperti ini.
“Aku
mencintaimu, tolong berikan senyuman itu, jangan biarkan warnamu punah.”
Jari lentik yang sedari
tadi ku genggam tiba-tiba bergerak perlahan mengembalikan kehangatan tubuhnya
dan meremas lemah tanganku. Mataku terbelalak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar