Kamis, 16 Mei 2013

Ambang Logika


                                                          
beryl :)
Para pejalan kaki yang berseliweran melihat penasaran ke arah kita, kamu dan aku. Taman yang saat itu ramai dipenuhi oleh manusia yang berlalu lalang. Sontak semua perdebatan yang sengit sejak tadi, menguap tak menyisakan jejak. Membuat kamu dan aku saling bermain dalam pikiran masing-masing, membiarkan matahari membakar pasif ubun-ubun kita.
Dada bidangmu seolah memaksaku untuk memelukmu, rambut cepakmu membuatku merindukan halusnya helai-helai disaat dulu aku pernah mengelusnya, dan hampir membuatku terlupa pada keadaan saat ini.
            “Aku menyayangimu.”
            “Tapi aku sadar perasaan ini tak lebih dari sekedar teman.”
            “Apa kamu lupa, yang kita jalin saat ini bukan sekedar persahabatan.”
“Kalau aku tahu dia, aku akan mencoba mengerti.”
“Aku memiliki alasan untuk tidak memberitahukannya. Dia terlalu menanti dan mengharapkan kehadiranku”
“Aku tahu kamu masih mencintaiku. Dan aku akan lebih setia menantimu hingga akhirnya kamu selesai dengan orang itu.”
Semua memang diluar batas logika. Aku mengusap asal air mata yang mencair lewat sudut mataku. Ada seseorang yang lebih mencintaiku dari empat tahun terakhir, jauh sebelum aku mengenalmu. Aku merasa bodoh karena baru menyadari semuanya, dia sahabatku. Aku memang tak merasakan perasaan yang berbeda, tapi aku pasti memiliki rasa itu meskipun hanya secuil.
Dia sudah berusaha dari awal memperjuangkan cintanya dan membulatkan kesetiaannya. Kenapa tidak untuk memperjuangkan perasaannya untuk membahagiakannya. Aku akan berusaha membalasnya. Aku akan berusaha mencetak senyum dibibirnya oleh diriku, seorang gadis bodoh yang tak menyadari perasaan sahabatku sendiri.
            “Aku menyayangimu…”
Aku mengecup pipi si pemilik rambut indah ‘nan panjang yang sedang terkujur kaku diatas kasur tipis yang dililiti sejumlah selang ditubuhnya. Sekuat tenaga aku mempertahankan air mata yang terbendung di pelupuk mata.  wajah yang sangat cantik dan nyaris sempurna, jika dilihat dari cekungan wajahnya. Aku tak akan meninggalkannya dalam keadaan yang seperti ini.
            “Aku mencintaimu, tolong berikan senyuman itu, jangan biarkan warnamu punah.”
Jari lentik yang sedari tadi ku genggam tiba-tiba bergerak perlahan mengembalikan kehangatan tubuhnya dan meremas lemah tanganku. Mataku terbelalak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar