Lihat! Kini kau kembali hadir
disaat persis aku menuai rindu, kau memang selalu datang. Sekarang kau mulai
lagi mengisi ruang kelamku. Kau datang memang, tapi tanpa tawa selalu luka. Apalagi
yang akan kau keluhkan tentang wanita bodoh itu? Lagi-lagi kau gagal mendapat
cinta hah? Wanita mana lagi yang merusak sendi-sendi jiwamu? Bodoh! Sudah berapa
kali aku memberitahukan bahwa mereka semua tak ada yang pantas untukmu tapi aku
yang pantas. Aku akui memang aku tak beritahukan rasa ini, bahkan tingkahku pun
tak menunjkkannya. Tapi apa kamu tak mengerti sorot pandangku padamu? Kenapa kamu
tak mencoba mencari tahu? Sudah ku bilang kalau kau memang bodoh! Haruskah aku
yang mengutarakannya dahulu? Sial! Kenapa aku harus mencintai orang bodoh
sepertimu, sayang? Menatap sorot pandang pun kamu tak mampu!
Kau terluka, tapi kenapa kamu berusaha
memberikan gelakan tawa itu padaku? Jangan pura-pura kuat! Aku sudah mengenal
kerapuhanmu itu, cukup aku saja yang berpura-pura kuat atas segala kehancuran
yang kau ombang-ambingkan dibalik kerapuhan ini! Menangis saja kalau memang itu
mengurangi nyerimu. Tak usah malu menangis dihadapanku. Tangisan itu manusiawi
kok.
Jika kamu sudah siap menantang
takdir kembali, silahkan pergi dengan lebih matang. Carilah seseorang yang
lebih dari yang sebelumnya. Tapi toh kamu akan kembali lagi kesini tapi tanpa
luka namun dengan tawa karena kesadaranmu yang pasti akan mengerti bahwa memang
hanya akulah yang menjadi tempat pemberhentianmu atas semua kejanggalan cinta
yang kau ciptakan sendiri! Dengan rasa senang hati aku masih menunggu dari awal
cerita hingga akhir tanpa sedikitpun membelokkan pikiranku untuk berpaling.
“lebih dari dua tahun yang lalu
tanpa sedikit pun mendapatkan respon pada si gadis yang penuh tatap….”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar